Sore itu, gerimis menetes, langit mendung, saya terselimuti sejuk yang membahagiakan. Minggu (19/4) sekitar pukul 17.30 sore. Saya membelah gerimis bersama dia. Dalam ketenangan jalanan Jakarta yang lenggang. Angin berhembus membelah celah di antara saya dan dia.
Ingin tahu perasaan saya saat itu? Bahagia. Berkali lipat dari perasaan bahagia yang pernah terlewati. Kenapa? Jawabannya sederhana, dia, hujan dan sore adalah perpaduan yang selalu saya damba. Ibarat obat mujarab yang menyembuhkan segala penyakit.
Selama perjalanan yang lebih kurang 20 menit itu, saya dan dia tak putus bercerita. Lewat banyak kisah, banyak topik dan banyak tawa. Itu kebiasaan lain yang membuat saya tidak pernah berhenti mengaguminya.
Dia orang yang paling benar untuk diajak berdiskusi. Bukan hanya diskusi santai, tapi juga diskusi dengan urat bertegangan tinggi. Saya dan dia tidak selalu sepaham, tapi kami selalu tau bagaimana menemukan persamaan dari perbedaan yang ada.
Pembicaraan itu tentang poster film terbaru seri The Avengers yang terpampang nyata di bus TransJakarta, berlanjut ke keinginan saya dulu untuk bekerja di SCBD, hingga betapa saya menyukai dia dan jaketnya.
Beranjak bersama waktu dan sampailah dalam perjalanan pulang yang membawa obrolan berubah menjadi serius. Masih tetap memutuskan untuk berjalan kaki. Saya dan dia membahas tentang alterego, mimpi, fasilitas bagi disabilitas di pinggiran Sudirman-Thamrin, kampanye perusahaan akan menghargai manusia (a.k.a pekerjanya) hingga perdebatan akan tren yang menenggelamkan esensi sebuah prinsip pada akhirnya.
Saya enggan menjabarkannya lebih detail di sini. Tapi percaya lah pembicaraan saya dan dia selalu merembet. Dari sederhana menjadi begitu kompleks. Kami, jelas bukan siapa-siapa, pengalaman masih minim apalagi pengetahuan. Hanya obrolan di antara kami yang angkuhnya tidak ingin kami bagi kepada dunia. Sederhananya, agar tidak ada seorang pun yang mengambil ide itu. Originalitas itu hanya milik saya dan dia.
Banyak hal yang gampang mengusik, tinggal bagaimana kita menelaahnya lebih dalam. Selama perjalanan ini saya semakin tahu bahwa keterusikan saya ternyata di alami juga olehnya. Bukannya di dunia ini kita butuh seseorang lain untuk bertukar pikiran? Saya menemukannya dalam kebersamaan dengan dia.
Lewat obrolan yang manis penuh sudut pandang, maka tidak usah heran kenapa saya menikmati 40 menit perjalanan pulang pergi itu. Kehangatan itu menyusup, melewati relung hati dan kepala yang terus berbalas kata. Mengalahkan sore yang sejuk.
Lantas, siapa yang bisa mendustakan nikmat hujan rintik di sore yang mendung pada sebuah percakapan?
No comments:
Post a Comment