" Three words I can sum up everything I've learned about life: it goes on. " Robert Frost

Friday, May 8, 2015

Jakarta Itu Keras, Apalagi KRL-nya

Cerita ini muncul kala saya sedang dalam sebuah perjalanan menuju kantor. Tentunya cerita ini muncul di KRL, moda transportasi utama untuk mencapai kantor sehari-harinya. Siapa pun, mungkin bukan hanya saya, pengguna KRL lainnya paham benar akan banyaknya kisah yang terlihat nyata dalam perjalanan singkat itu.

Kali ini suatu kesadaran untuk tidak bersikap serakah mengetuk pemandangan mata saya, siang itu.

KRL sedang berhenti di stasiun Sudimara, bagi kalian yang menumpang KRL jurusan Maja-Tn Abang pasti paham benar, Sudimara merupakan pusat keramaian. Penumpang menumpuk di sana, maka tidak ayal, gerbong perempuan yang kosong mendadak sempit jika Sudimara menjadi perhentian.

Berbondong-bondong perempuan "super" masuk ke gerbong. Saya menyebutnya super karena rasanya sulit menemukan kata ganti untuk menggambarkan keteguhan dan ketangguhan perempuan di gerbong khusus wanita KRL. Cobalah sendiri dan rasakan!

Kembali ke cerita, tempat duduk barisan saya sudah diisi oleh 6 perempuan. Artinya, secara kemanusiaan, hanya tersisa satu tempat untuk satu perempuan lagi. Tapi nyatanya, perempuan "super" tidak pernah berhenti berjuang.

Maka, seorang perempuan mendesak masuk di celah sempit di kursi yang kini sudah diduduki oleh 7 orang perempuan. Iya, dia memilih merengsek masuk di antara saya dan seorang ibu. Saya dan ibu itu pun memisah, memberi ruang seadanya. Seperti yang bisa kalian bayangkan, dia hanya punya ruang kecil untuk sekadar duduk kecil dengan daya tumpu yang pasti besar di kaki. Percayalah, duduk seperti itu hanya akan membuat lelah daripada nikmat.

Tidak lama, KRL melanjutkan perjalanan. Berselang waktu, si mbak mulai kewalahan menahan beban tubuhnya (mungkin kakinya pegal) tapi saya enggan peduli. Itu risiko dari pilihannya. Ia terus bergerak merengsek masuk, mungkin berharap celah yang ironisnya tidak ada.

Nyatanya, tindakan itu tidak hanya meresahkan saya, tapi juga si ibu di sebelah saya tadi. Hingga akhirnya si ibu memilih untuk meninggalkan kursinya dan berdiri di sisi pintu. Itu menyebalkan, saya bukan pembela kebenaran, tapi etikanya si mbak lah yang harus sadar diri.

Belum berhenti di sana, si mbak pun mengeluarkan suara "nah gitu dong". Seketika saya menoleh, tentunya bukan saya yang melemparkan pandangan tidak suka, tapi juga beberapa orang di hadapan dan di sekitar si mbak.

Tidak kah kita sebagai manusia dititipkan hati nurani dan akal pikiran untuk mendulang segala tindakan yang kita lakukan? Bagi saya, bukan si ibu yang harus beringsut tapi si mbak. 

Sayangnya, perempuan-perempuan KRL cenderung buta pikiran dan hati. Hal yang saya takutkan melingkupi saya suatu hari nanti (semoga tidak). Saya paham akan upaya diri untuk mendapatkan yang terbaik, tapi bukan berarti menyikut orang lain untuk itu adalah hal yang sah.

Jika, untuk hal sekecil itu pun kita sudah buta, lalu bagaimana dengan hal lainnya di dunia ini? Nurani kita semakin terkikis, kesadaran hidup bermasyarakat semakin tergerus. Hanya satu cara untuk menjadi normal, berkaca dan terus berkaca. 

Saya setiap harinya berusaha untuk terus berkaca kepada mereka yang egois. Menjadikan kesalahan tersebut untuk tidak melakukan hal yang sama. Jika kita berharap yang terbaik bagi kita, begitu pun orang lain. Jika tempat itu sudah menjadi rezeki kita, dia tidak akan pernah berlari. 

Jakarta itu keras, apalagi KRL-nya. 

Wednesday, April 29, 2015

Sebuah Perjalan Menjadi Penari

SELAMAT HARI TARI DUNIA, wahai para penari di seluruh pelosok bumi.
Layaknya sebuah perayaan lainnya yang pernah terlalui, saya ingin sedikit berkisah tentang keseharian saya yang kerap beririsan dengan dunia tari. 

Sejak mengenyam pendidikan di taman kanak-kanak saya aktif berpartisipasi dalam kegiatan menari. Dulunya hanya iseng, sembari mengisi waktu anak-anak saya. Jelas tarian yang dibawakan pun hanya tari-tari sederhana untuk memeriahkan panggung hiburan sekolah.

Beranjak pada masa sekolah dasar saya masih mengikuti ekstrakulikuler menari. Saya ingat persis tarian itu bernama Tari Piring yang dibawakan dengan piring kertas dalam balutan gerakan yang sederhana. Oh selain itu saya juga pernah membawakan Tari Lilin dan Tari Dindin Badindin. Sebagian besar masa kecil saya memang dihabiskan di Medan, Sumatera Utara jadi tidak usah heran list tarian yang mengisi hari-hari saya adalah tarian-tarian Sumatera.

Selepas itu, saya memasuki masa di mana modern dance sedang hits. Saya pun beralih, mengikuti beberapa teman untuk mencoba-coba membuat gerakan dan menampilkan modern dance tersebut dalam sebuah pentas seni siswa SMP. 

Nyatanya, hati ini enggan berpihak. Ada perasaan yang hilang. Sederhananya, saya tidak merasa menjadi diri sendiri dengan menarikan gerakan modern tersebut. Musiknya yang melantun tidak membuat saya tergerak untuk menari.

Masuk SMA, saya aktif di ekskul tari Jawa. Selain itu kesempatan besar datang ketika saya kelas dua. Sekolah memutuskan berpartisipasi dalam acara penurunan bendera Merah Putih pada Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2008 lampau. Ternyata partisipasi pada kegiatan itu membuka jalan saya untuk menari tari tradisional lagi.



Selepas dari acara itu, saya diajak bergabung pada sebuah sanggar tari besutan mantan penari Swara Mahardika yang tersohor. Saya pun bergabung dengan Swara Mahardika Muda. Lewat latihan yang rutin saya berangkat mengikuti misi budaya ke Prancis dan Swiss pada 2010. 



Langkah kaki tidak berhenti di sana, tiga orang teman saya membentuk Kultura Indonesia Star Society pada 2012. Saya pun memutuskan untuk bergabung. Hasilnya latihan rutin membuahkan kesempatan misi budaya ke Turki pada tahun 2013.

Hingga beberapa bulan yang lalu saya masih aktif menari. Tentunya tari tradisional Indonesia. Belasan tarian pernah saya tarikan, mulai dari Sumatera hingga Papua. Perasaan cinta itu semakin besar, kebanggan itu masih menggunung.

Tidak ada alasan untuk berhenti sebenarnya, hanya saja waktu masih memilih untuk menenggelamkan saya dengan kegiatan lain. Bukan suatu halangan, dalam perjalanannya saya sudah melalui perjalanan timbul tenggelam ini sebelumnya.

Sebut saja itu proses. Bagian menjadi seorang penari yang punya kewajiban. Saya masih dan akan dengan bangga menyebut diri saya penari. Entah kini atau nanti. Tidak ada yang berubah. Semangat dan kecintaan itu masih mengalir sama derasnya. 

Salah satu pelajaran yang paling kuat menempel dalam ingatan saya adalah "Seorang penari tahu betul akan keselarasan. Dia belajar menyesuaikan diri dengan musik dan sekitarnya. Menjadi seorang penari selalu mampu menanggalkan keegoisannya. Karena ia harus selalu selaras dalam Wiraga, Wirasa dan Wirama," 

Pelajaran itu menempel kuat. Membuat saya enggan dibenam waktu. Meski sedang pasif menari, saya aktif menulis tentang tarian dan kegiatan tari yang dilaksanakan oleh sanggar - sanggar tari di sekitar Jakarta.

Saya menggagas berdirinya Ketik Tari. Dalam perjalanannya saya mengajak serta empat orang terpercaya (Emir, Erika, Ninda dan Caya) untuk mengembangkan Ketik Tari hingga sampai di titik ini. Harapannya, Ketik Tari mampu menjadi medium bagi sanggar-sanggar tari dan tari tradisional untuk mendapatkan tempat di masyarakat. Tentunya ini sebagai bentuk apresiasi kami terhadap seni tari tradisional Indonesia.

Oh, tidak lupa, sebelum memutuskan mendirikan Ketik Tari, saya pernah menulis novel tentang tari. Novel fiksi ini menyelipkan filosofi-filosofi tarian tradisional Indonesia dalam ceritanya. Dengan judul "Dalam Liku RASA Ku Temukan Gerak Indah Kehidupan", novel ini diterbitkan oleh PT Gramedia Widiasarana Indonesia (GRASINDO) pada 20 Oktober 2013 silam.

Perjalanan saya masih panjang, lenggang ini masih akan terus mengayuh. Melempar selendang sebagai jala pada setiap peluang yang terlalui. Masih banyak ilmu tari yang akan saya gapai. Ragam cara bisa dilakukan untuk mengapresiasi budaya tradisional Indonesia khusunya tarian. Maka saya masih jauh dari kata berhenti.

Teruntuk Penari-Penari di luar sana,
Berbanggalah atas kesempatan menjadi seorang penari. Kesempatan itu tidak datang dengan mudah, tapi lewat peluh yang menetes dan semangat yang membara. Terus lah menyebar cinta lewat tarian. Dalam lenggang gerak dan alunan musik yang mengalun itulah sebuah budaya tersebar dari generasi ke generasi. Lewat semangat dan tekad kita lah, sebuah budaya mendapat ruangnya di masyarakat. 

Sekali lagi, Selamat Hari Tari Dunia. Happy World Dance Day, Dancers!! :)

Monday, April 27, 2015

Hangat Percakapan dalam Selimut Dingin Hujan

Berjalan kaki dari FX ke Pacific Place sudah lazim saya lalui. Entah untuk menghemat ongkos atau menghemat waktu. Rasanya menikmati waktu sendirian di sela gedung-gedung pencakar langit lebih baik dari menatapnya dari kaca bus. Saya menikmati setiap detiknya. Perasaan bahagia kerap mampir dengan kesendirian di tengah pusat bisnis ibukota.

Sore itu, gerimis menetes, langit mendung, saya terselimuti sejuk yang membahagiakan. Minggu (19/4) sekitar pukul 17.30 sore. Saya membelah gerimis bersama dia. Dalam ketenangan jalanan Jakarta yang lenggang. Angin berhembus membelah celah di antara saya dan dia.

Ingin tahu perasaan saya saat itu? Bahagia. Berkali lipat dari perasaan bahagia yang pernah terlewati. Kenapa? Jawabannya sederhana, dia, hujan dan sore adalah perpaduan yang selalu saya damba. Ibarat obat mujarab yang menyembuhkan segala penyakit.

Selama perjalanan yang lebih kurang 20 menit itu, saya dan dia tak putus bercerita. Lewat banyak kisah, banyak topik dan banyak tawa.  Itu kebiasaan lain yang membuat saya tidak pernah berhenti mengaguminya.

Dia orang yang paling benar untuk diajak berdiskusi. Bukan hanya diskusi santai, tapi juga diskusi dengan urat bertegangan tinggi. Saya dan dia tidak selalu sepaham, tapi kami selalu tau bagaimana menemukan persamaan dari perbedaan yang ada.

Pembicaraan itu tentang poster film terbaru seri The Avengers yang terpampang nyata di bus TransJakarta, berlanjut ke keinginan saya dulu untuk bekerja di SCBD, hingga betapa saya menyukai dia dan jaketnya.

Beranjak bersama waktu dan sampailah dalam perjalanan pulang yang membawa obrolan berubah menjadi serius. Masih tetap memutuskan untuk berjalan kaki. Saya dan dia membahas tentang alterego, mimpi, fasilitas bagi disabilitas di pinggiran Sudirman-Thamrin, kampanye perusahaan akan menghargai manusia (a.k.a pekerjanya) hingga perdebatan akan tren yang menenggelamkan esensi sebuah prinsip pada akhirnya.

Saya enggan menjabarkannya lebih detail di sini. Tapi percaya lah pembicaraan saya dan dia selalu merembet. Dari sederhana menjadi begitu kompleks. Kami, jelas bukan siapa-siapa, pengalaman masih minim apalagi pengetahuan. Hanya obrolan di antara kami yang angkuhnya tidak ingin kami bagi kepada dunia. Sederhananya, agar tidak ada seorang pun yang mengambil ide itu. Originalitas itu hanya milik saya dan dia.

Banyak hal yang gampang mengusik, tinggal bagaimana kita menelaahnya lebih dalam. Selama perjalanan ini saya semakin tahu bahwa keterusikan saya ternyata di alami juga olehnya. Bukannya di dunia ini kita butuh seseorang lain untuk bertukar pikiran? Saya menemukannya dalam kebersamaan dengan dia.

Lewat obrolan yang manis penuh sudut pandang, maka tidak usah heran kenapa saya menikmati 40 menit perjalanan pulang pergi itu. Kehangatan itu menyusup, melewati relung hati dan kepala yang terus berbalas kata. Mengalahkan sore yang sejuk.

Lantas, siapa yang bisa mendustakan nikmat hujan rintik di sore yang mendung pada sebuah percakapan?


Friday, April 17, 2015

Hujan di Rossi Musik

Sore itu mendung menggelayut, tapi tidak lantas menyurutkan langkah gue untuk menyambangi pentas #KitaSamaSamaSuka Hujan. Sederhana, karena sebagai penikmat hujan, kadang sore mendung lebih indah. Debu jalanan yang menampar pun seolah lenyap terganti semilir angin.

Selain karena memang termasuk orang yang menikmati hujan dan tidak mudah menyerah pada payung, gue memang mengidolakan Banda Neira. Kalau saja kalian penasaran kenapa gue memilih menerjang Jakarta di hari Rabu yang sarat kemacetan dan bersiap diguyur hujan.
Setelah bertarung melawan macet Blok M - Fatmawati selama satu jam lebih, akhirnya gue sampai di Rossi Musik. Tiket pun sudah digenggaman, buku acara lantas menjadi daya tarik tersendiri. 

Jujur, sebagai penikmat Banda Neira, gue pun bermodal hafal lagu-lagu mereka saja. Sementara pengisi acara lainnya seperti Gardika Gigih dan Layur beberapa kali namanya mampir ke telinga, sedangkan Suta Suma Pangekshi dan Jeremia Kimoshabe benar-benar sangat asing.

Mungkin layaknya penggemar Banda Neira lainnya, saat menatap Set List gue pun hanya mengenali dua lagu. Jelas, itu lagu Banda Neira yakni Hujan di Mimpi serta Langit dan Laut. Ketiga belas list lagu lainnya benar-benar asing.

Panggung yang tematik dengan gantungan-gantungan awan kapas bertirai hujan buatan membawa semangat akan hujan erat rasanya menyelimuti kami, penonton. Pada tiga lagu awal, semangat itu masih menggebu. Hujan di Mimpi sebagai lagu ketiga yang dibawakan membuat gue melepaskan dahaga untuk bernyanyi bersama puluhan orang lainnya. 

Pentas #KitaSamaSamaSukaHujan Rabu (15/4) Rossi Musik

Sayangnya, setelah itu, selama hampir sejam kemudian, gue hanya bisa hanyut dalam sepi dan sendu. Cengkraman sepi dan sendu rasanya terlalu menghimpit ruangan. Kegelisahan itu ternyata tidak hanya dirasakan oleh gue dan teman-teman, tapi juga Rara Sekar yang disampaikannya secara gamblang dari atas panggung.

Pemikiran sederhana gue, lagu-lagu yang sangat asing dan pembawaan lagu yang memang sangat lambat membuat suasana itu lahir tanpa bisa ditolak. Bukan karena kami penonton lelah atau tidak tertarik, hanya saja rasanya ada tembok pemisah antara kami, penonton yang duduk di bawah dan mereka, penampil yang berdiri di atas panggung sana.

Gue pribadi berusaha mengenyahkan perasaan itu. Mencoba menikmati. Karena sesungguhnya lagu-lagu asing yang mereka bawakan terdengar syahdu hanya saja masih terlampau jauh untuk direngkuh.

Tidak berhenti di sana, usaha Rara Sekar untuk membangun dialog seperti dimentahkan oleh penampil lainnya. Mereka kesulitan untuk berbagi kata dan cerita. Rara pun seperti terlempar ke kanan dan kiri panggung hanya untuk berdiri di tengah dan menjadi penyeimbang.

Kembali ke tujuan awal, untuk menikmati keriaan yang diciptakan atas dasar ketertarikan yang sama terhadap Hujan. Gue pun masih puas.

Saat membawakan lagu Langit dan Laut, Banda Neira

Rasa puas ini ironisnya datang terlalu terlambat. Semangat yang tadinya ada dalam tiga lagu pembuka baru terasa hadir kembali di lagu penutup. Lagu dengan judul Suara Awan itu membawa gue terhanyut dalam musik dan liriknya. Seperti harapan pada saat melangkah masuk ke gedung Rossi Musik diiringi rintik hujan yang mulai menetes di sudut Jakarta Selatan.

Mengherankan memang, Suara Awan sendiri sebenarnya lagu yang termasuk kategori asing. Namun sepertinya para penampil memasukkan seluruh jiwanya ke dalam penampilan mereka saat membawakan lagu ini.

Semangat itu menjalar hingga ke setiap sudut gelap gedung di Jalan Fatmawati itu. Saya menikmatinya hingga nada terakhir. Mengembalikan saya pada saat pertama kali mendengarkan Di Atas Kapal Kertas tahun 2013 silam. Jatuh cinta yang sama, perasaan yang saya harapkan selalu hadir ketika menonton pertunjukan musik Banda Neira.

Malam itu, sepertinya Tuhan mendengar pinta dan mewujudkan harapan itu. Keenam penampil memberikan encore yang meledakkan perasaan gue, membayar setiap kesenduan sejam terakhir dengan DI ATAS KAPAL KERTAS.

Lagu itu, cinta pertama itu, dibawakan dengan begitu indah. Kenapa? Karena kali ini tidak hanya Rara Sekar dan Ananda Badudu yang meluluhkan hati saya tapi juga Gardika Gigih, Layur, Suta Suma Pangekshi dan Jeremia Kimoshabe. 

Kesempatan yang Rara berikan pada setiap penampil untuk unjuk gigi adalah momen yang luar biasa. Orang-orang yang tadinya tidak mendapat spotlight selama acara yang kepalang sendu, justru menutup malam dengan indahnya. 

Penampilan itu berlalu cepat, seperti bintang jatuh yang hanya mengizinkan mata mengintip pandang sekali. Tapi jangan tanya kesan yang tertinggal. Sampai sekarang, perpaduan musik itu masih melayang mesra di dalam relung otak gue. Membuat jatuh cinta ini semakin dalam kepada Banda Neira dan tentunya temuan cinta yang baru teruntuk Gardika Gigih, Layur, Suta Suma Pangekshi dan Jeremia Kimoshabe. 

Mungkin seperti Hujan yang datang mencipta sendu dan kegelisahan akan perjalanan aktivitas hari itu namun berujung suka cita akan sejuk dan mendung yang menenangkan.  Pentas #KitaSamaSamaSukaHujan pun melakukan hal yang sama. Penonton dibalut sendu dan pertanyaan sebelum akhirnya dititipkan kenangan manis berselimut suka yang pantas dikenang.

PS : Bagi yang penasaran sama set listnya ini gue sertakan..

1. Hujan dan Pertemuan
2. Prelude
3. Hujan di Mimpi
4. Tenggelam
5. Suara Awan (Cari, dan coba dengarkan. Ini Indah)
6. Langit dan Laut
7. Dawn
8. Kereta Senja
9. Ocean Whisper
10. Derai-Derai Cemara (Musikalisasi Puisi Chairil Anwar)
11. I'll Take You Home
12. Labuh
13. Beranda
14. Dan Hujan
15. Are You Awake
Encore : Di Atas Kapal Kertas


Saturday, April 11, 2015

Dunia Kadang Terlalu Berisik

Banyak hal yang berlalu namun sebanyak itu pula waktu yang terbuang sia. Bukan karena gue enggan menulis, tapi rasanya keinginan itu perlahan menguap ke udara. Ujungnya, hanya tersisa niat untuk menuliskan apa yang menggelitik hati, membiarkannya perlahan menghilang dalam ingatan. Sebenarnya mungkin nggak langsung hilang begitu saja tapi mood untuk menuliskannya sudah tidak di sana.

Salah satu yang masih terpatri jelas diingatan namun nyawanya sudah lebih dulu melayang adalah kejadian di KRL Palmerah - Rawabuntu yang gue tumpangi. Ketika KRL masuk ke peron jalur 1 Palmerah, gue udah siap di posisi pas bertepatan dengan pintu kedua terdepan dari gerbong KRL. Tiba-tiba seorang Mbak berbaju biru, nampaknya pekerja kantoran, mepet dempet dengan kekuatan tangan yang bisa membuat nyeri lengan orang di sampingnya dan itu gue.

Rasa tidak mau kalah gue terusik. Gue pun tergoda untuk "mengalahkannya". Maka gue berkeras dan enggan memberi jalan. Bagi gue ketika orang itu berjuang secara fair untuk mendapatkan tempat duduk, gue akan dengan senang hati merelakannya, tapi ketika dia mengusik dengan cara ngotot, gue rasa dia salah milih lawan.

Selanjutnya, gue duduk bersebelahan dengan seorang ibu yang terlihat sedang susah baik dari pakaian maupun dari tatapannya yang menerawang. Anak sang ibu yang kerap melamun ini sediikit usil, mengganggu seorang ibu berjilbab disebelah ibunya. Jilbab sang ibu ditarik berkali-kali namun sang ibu memilih diam.

Sang anak enggan berhenti, mungkin karena merasa tidak mendapat tanggapan, anak itu mulai bergerak ke sana ke mari. Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan seisi gerbong wanita. Ada suara bentakan yang lantang.

Gue pun menoleh, betapa kagetnya gue ternyata si Mbak berbaju biru yang tadi harus melipir karena perebutan kursi di awal masuk gerbong tadi gue menangkan. Sang Mbak yang egois membentak anak tersebut. Tidak hanya membentak anak perempuan kecil tersebut, si Mbak juga membentak ibu yang melamun itu. Cukup panjang kata-katanya dan suaranya sangat lantang. Membuat segerbong terkesiap dalam sunyi.

Beberapa ibu-ibu tampak terkesima. Gue pun melemparkan pandangan tidak suka. Sang anak keburu menangis, dan sang ibu hanya mampu menenangkan seadanya sebelum kembali melamun.

Singkat cerita mereka berdua (anak dan ibu) hendak turun di stasiun Sudimara. Kala menunggu KRL berhenti dengan sempurna, ada seorang ibu yang duduk persis di sebelah pintu KRL (bersebrangan dengan gue) merogoh sesuatu dari tasnya.

Tidak lama dikeluarkan lah sebuah kantong breadtalk dan ia pun memberikan pada sang anak. Dengan sebuah pesan "Jangan nangis lagi ya nak". Gue dan sang ibu breadtalk pun saling melempar senyum. Sebelum sebuah suara kembali mengusik.

Si Mbak biru nyeletuk "Kalau anak kaya gitu jangan dikasih hati, ibunya juga nggak pake otak, anaknya didiemin aja, Saya sih nggak bisa diem aja kalau ngeliat anak-anak nggak diajarin begitu," dan bla bla bla. Obrolan menjengkelkan itu berlanjut bersama dengan beberapa ibu-ibu yang sama sifatnya, suka ngomongin orang lain di belakang!

Gue pun memutuskan untuk pasang headphone dan menutup mata. Dunia kadang terlalu berisik. Malangnya, suara-suara sumbang itu keluar dari rasa toleransi yang minim. Perasaan angkuh terhadap dirinya sendiri dan selalu menganggap orang lain selalu punya kekurangan dan kesalahan. Memuakkan.

Ironinya, di dunia yang sudah sumpek ini. Keangkuhan dan suara lantang selalu dianggap sesuatu yang hebat dan pantas dibanggakan. Diakui oleh masyarakat sekitar, dianggap perbuatan heroik. Lupa, kalau setiap jengkal bumi ini dibagi bersama, bukan untuk dikuasai perorangan.

Tuesday, March 3, 2015

Sepenggal Halo dan Sebaris Jawaban

Ada sebuah perasaan terasing yang semakin membuncah. Menjadikan kekhawatiran timbul menggunung. Mengaburkan pandangan hingga tak ada lagi warna yang mampu ditangkap mata selain abu.

Ada sebuah kegelisahan yang semakin menggerogoti. Menjadikan keputusasaan merajalela. Mengelabui segala akal yang berbisik.

Bukan perkara ada yang salah dalam perjalanan ini. Hanya saja kesendirian kadang kala mengekang. Menguasai hingga tak lagi mampu menelaah dengan jernih.

Rasanya pekat yang ada menjadikan semua prasangka sebagai jawaban yang absah. Atau mungkin ini hanya sentimen lelah yang juga mengikis kepercayaan diri.

"Halooo??" sepotong suara yang dinanti

Di mana dulu perasaan angkuh yang terpampang nyata. Berteriak lantang menjadikan sosok yang tak gentar akan kesunyian.

Mengapa kini rasanya titik-titik sepi semakin bising. Memekakkan gendang telinga, membuat hati menjadi rusuh.

Bila saja dari sekian ratus orang yang lalu lalang dari terang hingga pekat bersedia berhenti barang semenit. Untuk bertukar sapa atau bertukar canda. Mungkin sunyi bisa tersingkir.

Atau jalan ini sebenarnya salah, seharusnya dulu saya berbelok, tidak membiarkan hati yang angkuh menang. Hingga menyisakan sesal di sudut yang kini senyap.

Bila mana langkah membawa, biarkan kaki terus melangkah. Dalam sendiri atau bersama, dalam sunyi ataupun gegap.

Semakin dalam langkah tersuruk, semakin banyak logika yang berhamburan. Mungkin saja ada akal yang terselip, menyelamatkan raga dan jiwa yang memilih mati suri.

"Ya... Tunggu di sana, aku sedang dalam perjalanan," jawab ku lantang.
- NDN

Saturday, February 7, 2015

Malam Tak Lagi Pekat

Suatu hari lewat langkah kecil yang beriringan 
Terdengar derap yang menggebu
Berusaha mengejar namun tak kunjung bersinggungan
Terasa celah yang melebar 

Harus kah aku menahan langkah untuk bisa sekadar bersitatap
Atau malah memperbesar jarak agar bertemu di ujung sana

Kepada siapa aku harus melemparkan pertanyaan itu
Janggal ini semakin mengganggu 
Namun tak pantas dilayangkan

Jika malam menjemput
Aku masih dalam pelarian yang sama
Tapi kita tak kunjung bersisian

Rasanya bayang sudah melewati aku puluhan kali
Sepi semakin jauh melingkupi
Teriak pun sudah enggan bergema
Karena bisikan semakin tertelan

Ketika kata hati sudah diredam
Mungkin itu isyarat bahwa pelarian sudah semakin jauh
Tidak ada waktu untuk berbalik
Karena matahari di ujung jalan sudah melongok

Meminta aku segera menjemput
Karena malam tak lagi sepekat kemarin
- NDN