" Three words I can sum up everything I've learned about life: it goes on. " Robert Frost

Friday, November 30, 2012

Raksasa di Atas Sana

Aku merangkai langit menyusunnya rapi, menjadikan awan biru layaknya tirai yang hendak disingkap. Rahasia besar tersembunyi di sana, meninggalkan sejumput pertanyaan bergelayut mesra di benak. Aku mungkin belum mampu menjawab, apalagi menjelaskan satu demi satu kata demi kata. Layaknya alam dengan segala rahasianya, aku mengagumi langit biru yang terbentang luas, merasa terlindung berada di bawahnya, bagiku, langit seterik apapun, sebasah apapun, dia tetap atap raksasa yang selalu ada disana, aku tak akan pernah mampu menghindarinya. 

Sejauh apa aku memandang, sejauh apa aku berlari, ketika aku menengadah dia layaknya ibu yang tak bisa dibohongi. Dia akan tetap di sana memahami setiap yang terjadi pada aku. Rasanya tidak pantas berlari apalagi bersembunyi. 

Wahai raksasa di atas sana, teruslah begini,kala aku lupa arah rumahku, ku jadikan kau rumah besarku.

Mata Najwa : Inspiratif !

Ketenaran dan kapabilitas di bidangnya tentu tidak usah diragukan, berhasil memandu acara dengan namanya sendiri, menjadikan dia sosok yang lantas gue kagumi. Satu kelebihannya, tidak pernah terdengar sedikitpun dari intonasi suaranya merasa tertekan atau takut akan apa yang hendak ia tanyakan kepada narasumbernya. Gue dengan segala kelas yang gue ambil sekarang berharap suatu hari punya pertanyaan setaja dan kemampuan mengorek informasi setajam beliau.

Belum lagi kata-kata pembuka di setiap episodenya, pilihan kata yang menggugah, sarat makna dan tegas. Kekaguman dan pembelajaran dalam setiap episodenya terus bergulir tapi episode kali ini, membuat gue merasa suatu hari gue harus ketemu dan wawancara sama dia. Najwa Shihab itu menarik, cerdas dan inspiratif. I'm running out of words. Let's see this ...

Petikan kalimat pembuka Episode Mendadak Capres :
"Selamat malam, selamat datang di Mata Najwa, saya Najwa Shihab, tuan rumah Mata Najwa. Pemanasan 2014 kian lantang, seturut nama-nama menantang. Inilah saat politik menjelma dalam lakon melodramatik. Opera sabun siap terisi oleh kisah dizhalimi yang menguras simpati. Demam kekuasaan bermunculan dengan kedangkalan mencengangkan. Muka lama yang ngotot bertahan hingga tokoh dadakan latah." 

(baru ngedenger kalimat pembukanya aja, gue udah terkagum-kagum dan langsung terpikir kapan gue bisa sampai di titik ngebuat rangkaian kata dalam naskah kaya gitu)

Selanjutnya silahkan liat di sini :




:)

Terlihat Belum Tentu Terbaca

Tulisan ini akan jadi tulisan terakhir di bulan november 2012 atau tidak sih masih belum tau, tapi paling tidak arah mendekati ujung bulan ke sebelas tahun ini sudah kurang dari 5 jam lagi. Lalu dalam perjalanan pulang dari kampus menuju kosan, gue dan seorang teman, Cesita, menyadari bahwa semester ini berlalu sangat cepat. Nggak berasa semester ini akan segera berakhir walaupun tugas demi tugas tumbuh tanpa ada tanda-tanda mati segera. Tapi buat gue yang membuat terhenyak adalah bagaimana tahun ini berputar begitu cepat. Klasik ya, tiap tahun juga semua orang ngomong gitu. Gue punya alasan sendiri ngomong gitu.

Kecepatan mungkin kalau dibilang ini review setahun terakhir, tapi buat gue, masih terlalu banyak waktu terbuang sia-sia, yang seharusnya bisa gue kerjain buat apa malah gue biarin aja. Tapi ya uda sih nggak mau menyesali, toh udah lewat. Gue cuma masih nggak percaya aja, hampir setahun yang hanya kurang 1 bulan ini gue berhasil bertahan sejauh ini walaupun gue tau nggak jauh-jauh banget, gue masih ada di dalam lingkaran yang sama mungkin hanya tidak di dalam lapisan lingkaran yang sama.

Kalau diibaratkan dengan kuliah komunikasi internasional, ya gue udah nggak lagi di lingkaran core (inti) tapi udah sampai di lapisan semi-periphery. Pengennya daya magis lapisan core akan semakin memudar di tahun depan, sehingga gue bisa masuk ke lapisan periphery. Lalu terlepas lah gue dari semua ini.

Ini melelahkan, tidak ada juga yang pantas diperjuangkan lagi, tapi tidak semudah itu menarik diri. Bukankah menghilangkan kebiasaan merupakan hal yang sulit? Paling tidak, gue terkesima, gue sudah sampai sejauh ini,  kalau disamain sama teori kultivasi, gue yang tadinya sebagai heavy viewers, sekarang udah bisa jadi light viewers. Satu kemajuan, mungkin biasa bagi kebanyakan orang, tapi jelas kemajuan pesat buat gue.

Tulisan ini mungkin terlalu berbelit, tidak jelas ingin menyampaikan apa, tapi jika kalian mengenal gue, kalian akan paham maksud tulisan abstrak ini apa. Penjelasan-penjelasan diatas bukan lah jawaban dan tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan teori-teori yang dipaparkan.

Betapa abstraknya tulisan ini, menggambarkan sebagaimana gue yang terseok, tersandung, cemerlang, berantakan dan semua rasa yang campur aduk melalui tahun ini. Tapi dari ketidakjelasan tulisan ini kalian bisa melihat dengan jelas bagaimana tahun ini menciptakan banyak kegamangan bagi gue. :)

Wednesday, November 28, 2012

Film Sukarno

Sedang dalam penggarapan akan ada sebuah film Sukarno. Pastinya bakal jadi yang paling ditunggu-tunggu. Banyak hal yang melatarbelakanginya. Karena gue suka apa saja yang berkaitan dengan presiden pertama itu, kisah hidupnya yang selalu menarik buat dikupas dan digali lebih dalam dan tentunya karena penasaran sejauh apa seluruh pihak yang terkait dalam pembuatan film tersebut mampu menghidupkan kembali sosok berkharisma yang diidolakan bangsanya itu. 

Nggak gampang pasti mewujudkan apa yang terjadi dengan beliau, mulai dari karakter, pembawaan, kharisma dan terutama nama besarnya. Seluruh pengagumnya di seantero negeri ini pasti memiliki imajinasinya tersendiri, beliau hidup dalam kenangan yang mewah dan indah. Menampung segala kemungkinan imajinasi yang dahsyat tersebut pasti bukan pekerjaan yang gampang. 

Semoga film ini sukses nantinya, mampu menyisipkan rasa bangga yang memang sudah hidup begitu kuat akan sosoknya dan menambah pengetahuan serta memberikan kecerahan dibalik setiap unsur yang terkandung di film ini. 

Informasi detail bisa dilihat disini : Film Sukarno 
Bisa follow twitternya : @FilmSukarno 

:)

Tuesday, November 27, 2012

Mewakili Apa Yang Tak Lagi Mampu Diteriakkan

Meminjam sedikit petikan lirik lagu Payphone - Maroon 5 dari album Overexposed. Tidak banyak yang ingin dikatakan, rasanya tak pantas kata demi kata kembali mengalir lagi, kita sudah kebanjiran, membuat megap, tidak ada lagi spasi untuk kenyamanan. Ketika kita kehilangan kita, maka ruang pengap pun semakin mendesak, mendorong kita bertindak di luar akal. Satu dan yang lain saling bertabrakan, menghancurkan setiap apapun yang berada didekatnya hingga berkeping tak berbentuk. Kala mulut tak lagi mampu mengurai kata yang pantas diucapkan, biar sebagian lirik ini mewakili hati yang semakin tak kuasa menahannya..


You can't expect me to be fine
I don't expect you to care
I know I've said it before
But all of our bridges burned down
- Payphone

Lenyap dan Dilupakan

Ruang ini luas, memakan habis setiap bayangan yang tak lagi mampu ku tangkap. Terlalu luas untuk aku yang  merasa semakin kecil. Kehadiran ku semakin lama semakin lenyap, habis ditelan masanya. Saat aku tersadar aku tertinggal jauh jangankan mengejar, mencari celah untuk bersisian sejajarpun aku tak lagi mampu. Semakin jauh aku terpuruk semakin tak mampu kaki ini menyanggah raga untuk terus berjalan lurus. Kelelahan ini menemukan titiknya, aku terperosok ke dasar tanpa mampu memanjat kembali hingga berada di jalurku. Aku tak pernah menyerah, enggan menangisi langkah yang semakin berat, mungkin aku tinggal menunggu masa aku terkubur jauh, lalu tertinggal di sudut waktu, lenyap, lalu dilupakan.

I WANT THIS SO BAD!!

I've no idea how to describe all these things which gonna be explode soon. I just want this package. 




I'm goin' insane...





Read this and you'll know the reason why..



Let's make a wish for #decemberwish or maybe #newyearwish !!!

Monday, November 26, 2012

Tertinggal di sudut yang sama

Di satu titik, meretas jengah yang semakin menyesaki setiap rongga dada. Aku terdiam, membiarkan setiap kenangan dari cuplikan adegan dalam babak kehidupan ini kembali terulang layaknya aku duduk di sebuah karpet dibalur semilir sejuk pendingin ruangan, membuka kembali album lama yang tergeletak berdebu di sudut ruangan.

Semua seolah kembali terulang, terlihat bagaimana hari hitam dan putih silih berganti menyusun kisahnya sendiri, terkadang menitipkan sesungging senyum di ujung bibir, lalu tak pelak setetes air di sudut terbawah mata. Semua bergulir bergantian persis seperti kenangan yang terkuak, kembali aku mengulang semuanya.

Layaknya album kenangan yang berdebu, kisah yang terekam dari sejumput kenangan dan selembar moment yang tertangkap kamera, semua tidak lagi dapat terulang, lenyap sudah digerogoti waktu, tidak tercegah apalagi sempat diantisipasi.

Seindah apapun bayangan yang tercipta dari kenangan itu, seperih apapun saat itu luka tersebut menganga lebar, semua sudah terlewati, tak lagi dapat diulang, tak pula dapat diperbaiki. 

Di sana ia, tertinggal di sudut terdalam, sebagai kisah yang tak pantas dilupakan. Persis seperti album kenangan yang berdebu sekalipun akan tetap tersimpan dipojok ruangan yang sama.

Thursday, November 15, 2012

Danielle De Rossi

Cerita iseng. Dulu banget, lupa sih itu tahun berapa, tapi waktu itu De Rossi masih mukanya cupu banget, parah. Rambutnya masih pirang banget gak kaya sekarang, polos tanpa janggut dan jambang, badannya masih kurus banget buat ukuran pemain bola. Itu seinget gue sekitar tahun 2005 atau 2006 deh. 

Terus dia kan binaan asli AS Roma, digembor-gemborin tuh waktu itu, kalau dia bakal jadi pengganti Totti, calon kapten Roma di masa depan. Nyah! Gue pas ngeliat dia gimana, ngerasa "yaelah bentuknya aja cupu banget gini, kali-kali mau jadi pangeran Roma ngegantiin Totii. Jadi kapten masa iya begini."

Jengjeng! Selang berapa taun gue semenjak masuk asrama bener-bener ninggalin demen bola, ya tetep ngikutin Italy tapi Serie-A udah nggak kesentuh. Paling cuma baca koran atau majalah bola aja sesekali. Sisanya nonton bisa dibilang setahun paling cuma sekali. 

Sampe nih pas entah lah tahun berapa itu, entah dia baru berubah atau gue yang baru ngeh. De Rossi yang cupu berubah jadi tampang Gladiator sejati. Berjambang yang ngebuat rahangnya kebentuk jelas, rambutnya gak lagi pirang genjreng uda menjurus coklat keitem-iteman, dan badannya yang sudah kebentuk dan jadi lebih seksi. 

Saat itu gue langsung "Gila ini orang jadi lebih Romans dari Totti sekalipun. sejak kapan dia begini." Ngeliat dia main gimana juga, duh, gue seneng pembawaannya yang tenang, dan menunggu-nunggu kapan emosinya meledak terus mukanya murka banget. 

Sejak itu, nggak pernah ada keraguan dia bakal jadi pemain Italy lain dengan muka khas Roman yang seksi. Penampilannya juga yang konsisten ngebuat gue yakin dia bakal jadi andalan Italy selanjutnya. 

PS : No punggungnya 16 lagi hahahhaa it suits me well :D

Ini foto pas dia masih cupu sama dia yang sekarang. You will know the reason why I'm falling so hard on him.

De Rossi jaman dulu

Suatu hari di masa lalu

Euro 2012 kemarin

See him now?
*Photos from Google

Seandainya Dia Papa

Saat itu gue sedang di bus dari Blok M menuju Islamic Karawaci, agak larut malam sekitar jam setengah 9an. Keadaan bus sih padet seperti biasa, memasuki daerah senayan, bus mulai dibanjiri penumpang, sampai beberapa diantara mereka harus berdiri di sepanjang koridor bus. Gue uda siap dengan sweater berhoodie plus headset yang hanya sebelah terpasang, biar kalau ada apa-apa tetap kedengeran.

Membelah orang-orang yang sedang berdiri, sampai tibalah seorang bapak cukup tua dilihat dari wajah dan pembawaannya. Berdiri tepat di sebelah gue, dia santai, dengan menyilangkan tasnya yang terbuat dari kain batik, dan sibuk dengan hapenya yang model jaman dulu banget. 

Gue yang tadinya uda niat mau tidur, jadi sedikit gelisah. Gue liat orang-orang disekitar gue, cuek bodo semua, lanjut tidur. Pengennya sih gitu, tapi gimana ya, gue capek banget sih, tapi bapak ini udah tua pasti capek bgt kalau berdiri terus. Gue pun gak tenang, uda berusaha sok cuek (maaf mungkin kurang ajar ya gue sebagai yang lebih muda abis gimana, jalanan macet, capek banget, ngebayangin berdiri sampe Islamic mau pingsan rasanya)

Sampai di depan hotel mulia, jalanan masih ngerangkak. Pas gue nyoba merem yang keberapa kali, tiba-tiba gue kebayang muka bokap. Eng ing eng, saat itu juga gue towel-towel tuh bapak menawarkan tempat duduk gue. Dan lo harus tau betapa gak enaknya gue, karena dia dengan tenangnya bilang gini "Gak apa-apa nak, saya turun di Slipi, sebentar lagi kok. Keliatannya capek banget, saya berdiri saja." Mati gak lo Nam?!

Setelah berdebat tolak-tolakan alot, beliau tetep gak mau duduk, akhirnya gue tetep duduk. Ceritanya sih cuma gitu doang. Cuma yang pengen gue ceritain, kenapa tiba-tiba gue kaya kemasukan langsung nawarin bapak itu duduk tanpa mikir panjang adalah...

Ketika bayangan wajah bokap terlintas, satu yang gue ingat, seandainya dia Papa, yang sedang kecapekan pulang kerja, udah nggak muda lagi dan harus berdiri sepanjang jalan. Gue sebagai anaknya, pasti bakal kesel banget kalau tau ada anak muda seumuran gue yang gak mau ngebagi tempat duduknya buat bokap gue.

Gue ngebayangin bapak itu Papa. Seberapa capek sih gue dibanding bapak itu. Toh gue juga masih umur segini berdiri sejauh itu dibanding dia jelas gue masih lebih mampu. Gue kan juga gak mau Papa digituin orang. Kalau mau Papa selalu dapat perlakuan baik dari orang lain, gue juga harus memperlakukan orang lain dengan baik. 

Semenjak itu, buat ngusir setan yang menggoda di dalam diri gue, untuk ibu-ibu, bapak-bapak atau anak-anak gue selalu ngebayangin itu keluarga gue, karena gue pasti gak bakal mau mereka susah. Paling nggak sampai sekarang itu ampuh banget.

Mungkin gue bukan orang yang punya hati mulia-mulia banget, tapi paling nggak sedikit dari hati nurani kita mestinya bisa ngambil peranan lebih kuat. Kadang hidup berdampingan sama banyak orang itu harus ada yang punya hati nurani, kalau nggak hidup yang udah kejam ini bakal makin kejam lagi. Jadi nggak ada tempat buat ketenangan dan kebersamaan. Toh berdiri di bus bukan tiap hari kan, sekali-kali ini. Kenapa nggak? :D

Sunday, November 4, 2012

Aku yang Begini

Kisah ini tentang kita dalam rentang yang lebih singkat
Di mana aku menemukan kepingan cerita dalam rangkaian hangat yang sederhana
Pada detik kita bertukar pandangan
Detik itu aku mendamba kebersamaan kita

Bagai anak panah yang melesat menembus setiap yang menghadang jalannya
Perasaan yang aku kunci rapat di sudut tergelap hati dan pikiran
Perlahan mengetuk, kemudian menggedor, hingga kini menyeruak menerobos setiap sel pertahanan yang ku susun sedemikian rupa

Entah aku yang terlalu hampa
Atau kamu memberiku candu dalam setiap kehadiranmu
Yang aku tau kini aku hanya ingin terus begini
Menikmati setiap prosesnya

Mungkin lelah menentangnya
Mungkin juga bosan ingkar menipu nurani
Atau mungkin memang sudah terlalu jauh mendambamu

Daya Magis Sebuah Lagu

Beberapa lagu entah kenapa seperti ditakdirkan untuk nyantel dan ngena di hati melalui liriknya. Beberapa lainnya seolah punya daya magis sehingga siapa aja yang ngedenger seketika terbius lalu hanyut dalam lantunan nada, suara vokalisnya atau bahkan liriknya yang dalam. Ini tentang sebuah lagu yang sudah terlalu lama berdiam di playlist gue, tapi entah kenapa selama ini tidak pernah terdengar sebegitu mengena ini, sampai pada titik malam ini, dengan setumpuk kertas yang ngejelimet isinya, ketenangan malam, sayup-sayup suara pembawa acara berita di tivi dengan volume kecil, lagu ini pop up di playlist. Saat itu juga, otak yang ngejelimet, punggung yang letih memangku badan tanpa penyanggah ini rileks dan merasakan ketenangan dalam kenyamanan. Ini yang gue kategorikan "daya magis" sebuah lagu.

If I could bottled the smell of the wet land after the rain
I'd make it a perfume and send it to your house
If one in a million stars suddenly will hit satelite
I'll pick some pieces, they'll be on your way

In a far land across
You're standing at the sea
Then the wind blows the scent
And that little star will there to guide me

If only I could find my way to the ocean
I'm already there with you
If somewhere down the line
We will never get to meet
I'll always wait for you after the rain

- Adhitia Sofyan, After The Rain

Here it is :