Langkah pertama ku ayun, menjejak
undakan tangga teratas, kepala ku melongok jauh, bau asin laut dan cecap udara
yang lengket seketika menguar. Dalam hati aku bergumam “Selalu seperti ini..”
Jangan salah kan aku atau ribuan orang lainnya yang mendamba ketenangan dan
keanggunan pulau ini. Bali… Seandainya saja hari ini dan 5 tahun yang lalu
sama. Mungkin aku bukan melangkah gontai menyambut sapaan “asin” mu malah balas
memelukmu hangat dengan senyum seringai.
5 tahun yang lalu..
“Tapi gue nggak setuju kalau kita
ngelewatin Bali gitu saja hanya karena kita merasa kita tidak akan pernah mampu
menarikan tarian mereka,” ujar ku menggebu
“Paham gue, cakep memang tuh
pulau, siapa yang nggak mau liburan ke sana. Tapi tujuan sanggar kita bukan
buat liburan Dey, lo harus inget itu,” Ghea menentang tak kalah keras.
“Ya siapa juga yang mau liburan.
Itu sih bonus. Menurut gue justru karena kita nggak bisa tariannya lah kita
harus ngasi kesempatan untuk mengenal tarian itu dengan lebih. Bukan malah
dihindari,”
“Kenapa sih lo sepengen itu ke
sana?”
“Karena gue nggak hanya ingin
bisa menarikan tarian yang gue bisa. Gue mau kita bisa semua tarian. Mungkin
nggak mahir tapi paling nggak ngerti pakemnya. Kenapa lo harus nggak mau? Toh
tujuan kita sampai sekarang belum jelas mau ke mana kan,”
“Oke, tahun ini gue ngalah, lo
yang atur semua, lo yang urus semua kegiatan kita di sana. Gue yang beresin
anak-anak. Minggu depan diobrolin lagi with
progress please,”
Obrolan seperti ini memang bukan
pertama kali terjadi antara gue dan Ghea. Sahabat yang sudah gue kenal sejak
SMP. Keinginan dan impian kita sama, bisa nari semua tarian tradisi Indonesia
dan keliling dunia khususnya Indonesia.
Sejak selesai kuliah dua tahun
yang lalu. Kita berdua memutuskan untuk membuat sanggar sendiri. Meski kami
berdua belum bisa jadi pelatih tapi beberapa event dan festival di Jakarta
sudah acap kami cicipi.
Hari ini,
“Mba Deyantari? Saya Dayu yang
hari ini diminta jemput mba. Mobilnya di sebelah sana mba,”
“Oh halo Dayu. Nama kita mirip ya
Deya dan Dayu hahhaa. Ayo saya ikutin kamu sampai mobil ya,”
Pagi ini aku kembali bersapaan
dengan keanggunan kota ini. Aku lebih senang menyebutnya anggun dibanding
eksotis. Bagi ku, pulau dewata ini jauh lebih pantas disebut anggun, terkesan
mewah dan memiliki prestisenya tersendiri. Tidak sekedar eksotis. Keanggunannya
yang menenangkan menjadikannya candu bagi siapa saja yang singgah.
Tapi sayangnya, tempat indah ini
tak selamanya mencipta kebahagiaan dalam jejak ingatan. Aku salah satunya, bau
“asin” ini selalu mencipta percik perih jika kelewat lama aku cecap.
“Mba Deya jadwalnya baru akan di
mulai esok hari jadi hari ini free time ya. Mungkin m
au ke mana dulu atau langsung ke The Bay
Bali saja?”
The Bay Bali adalah tempat yang
disediakan panitia untuk kami para peserta seminar menginap. Terletak di Nusa
Dua Bali, kawasan yang terkenal karena wisata airnya yang menggoda setiap
pelancong di pulau dewata ini.
“Langsung aja ke hotel mba Dayu.
Saya belum ingin jalan-jalan,”
Selama perjalanan aku tidak
sempat mengukir lamunan sambil menatap lalu lalang orang di sekitaran jalan
karena Day uterus bertanya mengenai kegiatan menari ku selama ini. Aku dengan
antusias menjawab. Paling tidak, ada yang menghabiskan waktu ku dan tidak
membiarkan ku larut dalam ingatan.
5 tahun yang lalu..
“Gue nggak nyangka akhirnya jadi
juga kita ke Bali. Lo memang yang paling jago deh urusan keras kepala Dey,”
tawa renyah Ghea terdengar.
“Lah, udah gue bilang, nggak ada
salahnya dicoba. Workshop langsung 4 hari ditambah 2 hari bersantai bakal buat
sesanggar bahagia Ghe,”
Siang itu, aku menjejak di tanah
Bali, bersapa hangat dan bertukar senyum dengan semilir lembab penguar bau
asin. Semangat ku meledak-ledak. Esok hari, workshop pertama di mulai. Aku
tidak sabar belajar tari Legong yang tersohor itu.
Memang ini salah satu kegiatan
baru yang aku dan Ghea gagas pada sanggar kami. Seminggu penuh kami akan mampir
ke suatu daerah di luar Jakarta dan mendalami pakem asli setiap tariannya.
Tentunya itu ibarat sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Karena dengan
hidup berdampingan dengan masyarakat asli. Secara tidak langsung kami akan
mengenal budayanya pula.
Hari ini..
Aku terbangun cukup malam.
Menggeliat sebentar dan memutuskan untuk makan di hotel saja. Setelah
menghabiskan makan malam ku, aku memutuskan bersantai menyusuri bibir pantai.
Dalam hati aku memuji kecerdasan panitia dalam memilih The Bay Bali sebagai
tempat bagi kami para peserta. Ke Bali untuk kerja hanya akan menghilangkan
kesempatan kami untuk bersantai di pantai. Namun dengan hotel yang bersisian di
pinggir pantai ini, setiap saat adalah liburan.
Ketika malam semakin pekat. Aku
rindu Ghea. Rindu yang memudarkan keindahan pantai ini. Menistakan ketenangan
yang ditawarkan Bali.
5 tahun lalu..
“Wah gila sih, nggak nyangka ini
tarian memang nggak main-main deh. Ampun gue, berasa rontok sebadan,” aku
berselonjor di pendopo menghadap hamparan sawah.
“Mana ada tarian tradisi
main-main sih pakemnya hahaha. Tapi emang nggak sia-sia deh ke sini kalau
akhirnya bisa mantap nih pakem,”
Kami tertawa renyah bersama. Tari
Legong adalah salah satu tarian Bali yang terkenal memiliki kompleksitas yang
tinggi. Konon katanya tarian ini memang berasal dari kata “LEG” yang berarti
keluwesan dan “GONG” yang berarti gamelan. Makanya Tari Legong dan Gamelan
Semar Panggulingan, gamelan yang mengiringi tari Legong, tidak dapat
dipisahkan.
Tarian ini menggunakan kipas
sebagai alat bantu tarian. Meski sulit dan banyak dikembangkan secara mandiri
di beberapa tempat khusus di Bali. Tarian ini tetap mampu mengambil hati.
Tingkat kesulitannya menjadikan tarian ini indah dan memukau.
Hari ini..
Seminar demi seminar berlalu.
Diakhir acara, aku yang memiliki sanggar tari diminta untuk menutup acara
dengan menyampaikan pidato singkat. Hari itu aku ingin menuntaskan semuanya.
Apa yang aku pendam dan bagaimana Bali begitu menyiksa bagi ku sekaligus begitu
aku dambakan aku buka dihadapan publik. Bahwa ini tidak sekadar tarian dan
kesuksesan ku. Ini menyangkut aku dan rinduku pada sahabat ku.
5 tahun lalu..
Pagi ini semua mendadak kejam dan
hitam bagi ku. Subuh tadi aku dibangunkan karena Ghea yang hendak jalan pagi
menyusuri pantai ditabrak motor dengan kecepatan tinggi. Dia tidak
terselamatkan.
Aku pagi itu tidak hanya kehilangan
sahabat, aku kehilangan semangat ku, aku kehilangan wirama,wirasa dan wiraga
ku. Jika aku tarian, aku lumpuh, aku mati rasa, aku tidak selaras dengan musik.
Aku mengiringi kepergiannya
dengan diam. Aku tak lagi sempat menangis. Workshop tarian ku tidak selesai,
anak-anak sanggarku diredam duka. Aku kehilangan segalanya sejak itu.
Hari ini..
“Tidak lah indah ketika kamu tau
menari adalah hidupmu dan hidup orang yang mencintaimu. Lalu kamu membiarkan
sanggarmu berjalan tanpa kamu sebagai rodanya. Untuk apa sukses tapi mati
bersama duka. Saya memang kehilangan partner sekaligus sahabat. Hari ini saya
ingin kalian semua di ruangan ini tau. Bahwa saya berdiri di sini hari ini,
karena saya ingin berdamai. Membiarkannya pergi, mengizinkannya damai. Karena
dia GONG bagi LE, saya. Karena tanpa dia saya tidak akan lagi utuh, tidak lagi
luwes. Tapi tanpa saya, LE, dia tidak lebih dari sekedar gamelan biasa. Maka,
saya tidak akan membiarkan kami berdua tidak berarti. Biarkan kami terus
bertahan layaknya LEGONG bagi Bali dan kita semua,”
Senja itu.. aku kembali menari
LEGONG. Dengan senyum merekah tulus karena aku tau Ghea di sana melihatku.
Karena ini kebahagiaan ku. Tarian tradisi hidupku. Bali tempatnya lahir dan
hidup, selamanya.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!