" Three words I can sum up everything I've learned about life: it goes on. " Robert Frost

Wednesday, April 16, 2014

Senyum Legong di Ufuk Bali


Langkah pertama ku ayun, menjejak undakan tangga teratas, kepala ku melongok jauh, bau asin laut dan cecap udara yang lengket seketika menguar. Dalam hati aku bergumam “Selalu seperti ini..” Jangan salah kan aku atau ribuan orang lainnya yang mendamba ketenangan dan keanggunan pulau ini. Bali… Seandainya saja hari ini dan 5 tahun yang lalu sama. Mungkin aku bukan melangkah gontai menyambut sapaan “asin” mu malah balas memelukmu hangat dengan senyum seringai.

5 tahun yang lalu..
“Tapi gue nggak setuju kalau kita ngelewatin Bali gitu saja hanya karena kita merasa kita tidak akan pernah mampu menarikan tarian mereka,” ujar ku menggebu

“Paham gue, cakep memang tuh pulau, siapa yang nggak mau liburan ke sana. Tapi tujuan sanggar kita bukan buat liburan Dey, lo harus inget itu,” Ghea menentang tak kalah keras.

“Ya siapa juga yang mau liburan. Itu sih bonus. Menurut gue justru karena kita nggak bisa tariannya lah kita harus ngasi kesempatan untuk mengenal tarian itu dengan lebih. Bukan malah dihindari,”

“Kenapa sih lo sepengen itu ke sana?”

“Karena gue nggak hanya ingin bisa menarikan tarian yang gue bisa. Gue mau kita bisa semua tarian. Mungkin nggak mahir tapi paling nggak ngerti pakemnya. Kenapa lo harus nggak mau? Toh tujuan kita sampai sekarang belum jelas mau ke mana kan,”

“Oke, tahun ini gue ngalah, lo yang atur semua, lo yang urus semua kegiatan kita di sana. Gue yang beresin anak-anak. Minggu depan diobrolin lagi with progress please,”

Obrolan seperti ini memang bukan pertama kali terjadi antara gue dan Ghea. Sahabat yang sudah gue kenal sejak SMP. Keinginan dan impian kita sama, bisa nari semua tarian tradisi Indonesia dan keliling dunia khususnya Indonesia.

Sejak selesai kuliah dua tahun yang lalu. Kita berdua memutuskan untuk membuat sanggar sendiri. Meski kami berdua belum bisa jadi pelatih tapi beberapa event dan festival di Jakarta sudah acap kami cicipi.

Hari ini,

“Mba Deyantari? Saya Dayu yang hari ini diminta jemput mba. Mobilnya di sebelah sana mba,”

“Oh halo Dayu. Nama kita mirip ya Deya dan Dayu hahhaa. Ayo saya ikutin kamu sampai mobil ya,”

Pagi ini aku kembali bersapaan dengan keanggunan kota ini. Aku lebih senang menyebutnya anggun dibanding eksotis. Bagi ku, pulau dewata ini jauh lebih pantas disebut anggun, terkesan mewah dan memiliki prestisenya tersendiri. Tidak sekedar eksotis. Keanggunannya yang menenangkan menjadikannya candu bagi siapa saja yang singgah.

Tapi sayangnya, tempat indah ini tak selamanya mencipta kebahagiaan dalam jejak ingatan. Aku salah satunya, bau “asin” ini selalu mencipta percik perih jika kelewat lama aku cecap.
“Mba Deya jadwalnya baru akan di mulai esok hari jadi hari ini free time ya. Mungkin  m
au ke mana dulu atau langsung ke The Bay Bali saja?”

The Bay Bali adalah tempat yang disediakan panitia untuk kami para peserta seminar menginap. Terletak di Nusa Dua Bali, kawasan yang terkenal karena wisata airnya yang menggoda setiap pelancong di pulau dewata ini.

“Langsung aja ke hotel mba Dayu. Saya belum ingin jalan-jalan,”

Selama perjalanan aku tidak sempat mengukir lamunan sambil menatap lalu lalang orang di sekitaran jalan karena Day uterus bertanya mengenai kegiatan menari ku selama ini. Aku dengan antusias menjawab. Paling tidak, ada yang menghabiskan waktu ku dan tidak membiarkan ku larut dalam ingatan.

5 tahun yang lalu..
“Gue nggak nyangka akhirnya jadi juga kita ke Bali. Lo memang yang paling jago deh urusan keras kepala Dey,” tawa renyah Ghea terdengar.

“Lah, udah gue bilang, nggak ada salahnya dicoba. Workshop langsung 4 hari ditambah 2 hari bersantai bakal buat sesanggar bahagia Ghe,”

Siang itu, aku menjejak di tanah Bali, bersapa hangat dan bertukar senyum dengan semilir lembab penguar bau asin. Semangat ku meledak-ledak. Esok hari, workshop pertama di mulai. Aku tidak sabar belajar tari Legong yang tersohor itu.

Memang ini salah satu kegiatan baru yang aku dan Ghea gagas pada sanggar kami. Seminggu penuh kami akan mampir ke suatu daerah di luar Jakarta dan mendalami pakem asli setiap tariannya. Tentunya itu ibarat sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Karena dengan hidup berdampingan dengan masyarakat asli. Secara tidak langsung kami akan mengenal budayanya pula.

Hari ini..

Aku terbangun cukup malam. Menggeliat sebentar dan memutuskan untuk makan di hotel saja. Setelah menghabiskan makan malam ku, aku memutuskan bersantai menyusuri bibir pantai. Dalam hati aku memuji kecerdasan panitia dalam memilih The Bay Bali sebagai tempat bagi kami para peserta. Ke Bali untuk kerja hanya akan menghilangkan kesempatan kami untuk bersantai di pantai. Namun dengan hotel yang bersisian di pinggir pantai ini, setiap saat adalah liburan.

Ketika malam semakin pekat. Aku rindu Ghea. Rindu yang memudarkan keindahan pantai ini. Menistakan ketenangan yang ditawarkan Bali.

5 tahun lalu..

“Wah gila sih, nggak nyangka ini tarian memang nggak main-main deh. Ampun gue, berasa rontok sebadan,” aku berselonjor di pendopo menghadap hamparan sawah.

“Mana ada tarian tradisi main-main sih pakemnya hahaha. Tapi emang nggak sia-sia deh ke sini kalau akhirnya bisa mantap nih pakem,”

Kami tertawa renyah bersama. Tari Legong adalah salah satu tarian Bali yang terkenal memiliki kompleksitas yang tinggi. Konon katanya tarian ini memang berasal dari kata “LEG” yang berarti keluwesan dan “GONG” yang berarti gamelan. Makanya Tari Legong dan Gamelan Semar Panggulingan, gamelan yang mengiringi tari Legong, tidak dapat dipisahkan.

Tarian ini menggunakan kipas sebagai alat bantu tarian. Meski sulit dan banyak dikembangkan secara mandiri di beberapa tempat khusus di Bali. Tarian ini tetap mampu mengambil hati. Tingkat kesulitannya menjadikan tarian ini indah dan memukau.

Hari ini..

Seminar demi seminar berlalu. Diakhir acara, aku yang memiliki sanggar tari diminta untuk menutup acara dengan menyampaikan pidato singkat. Hari itu aku ingin menuntaskan semuanya. Apa yang aku pendam dan bagaimana Bali begitu menyiksa bagi ku sekaligus begitu aku dambakan aku buka dihadapan publik. Bahwa ini tidak sekadar tarian dan kesuksesan ku. Ini menyangkut aku dan rinduku pada sahabat ku.

5 tahun lalu..

Pagi ini semua mendadak kejam dan hitam bagi ku. Subuh tadi aku dibangunkan karena Ghea yang hendak jalan pagi menyusuri pantai ditabrak motor dengan kecepatan tinggi. Dia tidak terselamatkan.

Aku pagi itu tidak hanya kehilangan sahabat, aku kehilangan semangat ku, aku kehilangan wirama,wirasa dan wiraga ku. Jika aku tarian, aku lumpuh, aku mati rasa, aku tidak selaras dengan musik.

Aku mengiringi kepergiannya dengan diam. Aku tak lagi sempat menangis. Workshop tarian ku tidak selesai, anak-anak sanggarku diredam duka. Aku kehilangan segalanya sejak itu.

Hari ini..

“Tidak lah indah ketika kamu tau menari adalah hidupmu dan hidup orang yang mencintaimu. Lalu kamu membiarkan sanggarmu berjalan tanpa kamu sebagai rodanya. Untuk apa sukses tapi mati bersama duka. Saya memang kehilangan partner sekaligus sahabat. Hari ini saya ingin kalian semua di ruangan ini tau. Bahwa saya berdiri di sini hari ini, karena saya ingin berdamai. Membiarkannya pergi, mengizinkannya damai. Karena dia GONG bagi LE, saya. Karena tanpa dia saya tidak akan lagi utuh, tidak lagi luwes. Tapi tanpa saya, LE, dia tidak lebih dari sekedar gamelan biasa. Maka, saya tidak akan membiarkan kami berdua tidak berarti. Biarkan kami terus bertahan layaknya LEGONG bagi Bali dan kita semua,”

Senja itu.. aku kembali menari LEGONG. Dengan senyum merekah tulus karena aku tau Ghea di sana melihatku. Karena ini kebahagiaan ku. Tarian tradisi hidupku. Bali tempatnya lahir dan hidup, selamanya.


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! 



Tuesday, April 8, 2014

Satu Hak Suara, Satu Langkah Lima Tahun Mendatang

Gue bukan pemerhati apalagi pengamat politik. Gue hanya orang yang senang membaca dan melihat keadaan sekitar..

Bulan ini satu langkah dari rangkaian demokrasi yang kita pilih dulu sebagai jalan menyelamatkan apa yang bangsa ini punya akan dilaksanakan. Iya, pemilu legislatif berlangsung besok, 9 April 2014. Kita akan berduyun-duyun menyambangi TPS terdekat.

Sesederhana mencoblos memang. Instan, lihat saja yang perlu kita lakukan hanya datang ke TPS, masuk ke bilik suara, lalu pilih-pilih kandidat yang wajah dan namanya terpampang jelas, coblos beberapa kertas yang tersedia, keluar bilik suara, masukan kertas suara ke kotak suara, celupin tangan ke tinta tersedia sebagai bukti sah kita sudah memilih dan voila, satu suara demokrasi diterima.

Pemilu Legislatif, 9 April 2014

Lalu, salahkah kalau mendadak gue berpikir cara instan itu juga acapkali menghadirkan nama-nama instan yang kemudian kita beri tanggung jawab dan kepercayaan untuk memimpin bangsa ini, memimpin kita, menyerahkan asa kita yang menggantung di pundaknya.

Iya kalau diantara ratusan nama dan wajah itu ada sanak saudara atau kenalan kita yang mencalonkan, mungkin hati ini akan mudah memberikan pilihan. Atau paling tidak sudah ada orang yang kita idolakan. Lah, kalau yang kita temui nama dan wajah asing berturut-turut memusingkan mata dan otak, bukan lantas yang ada jadi asal pilih atau ya paling tidak mana yang kelihatan muka artis kita coblos saja.

Seapatis itukah kita menggantungkan harapan kita akan Indonesia yang lebih baik pada keasal-asalan kita sendiri?

Jujur, hingga hari ini gue pun belom mampu menentukan pilihan. Terlampau banyak nama untuk menentukan seperti apa 5 tahun ke depan bangsa ini.

Tapi hingga detik ini belum ada keinginan untuk golput. Pemilu ini pesta rakyat, jadi otomatis pesta gue. Gue gak mau suara gue digunakan oleh orang lain. Paling tidak, itu pilihan gue, hidup gue 5 tahun mendatang dipimpin oleh siapa, nggak akan gue biarkan hangus atau terbuang sia-sia.

Banyak cara untuk mempertimbangkan, banyak cara untuk berpartisipasi, banyak cara jika mau. Hanya saja sadarilah, asa akan selalu lebih indah dari kenyataan. Jika pilihan mu mengecewakan dan tak layak di kemudian hari, paling tidak yakinilah, kamu salah satu yang memilih dia. Semua pilihan di hidup ini punya risiko. Tapi yakinilah juga, kalau tidak sekarang, tidak bertindak, kita tidak pernah akan tau seperti apa hasilnya. Ikut mencoba kan tidak ada salahnya.

Coba baca kompas yang tiap hari mencoba menyuguhi kita dengan informasi pemilu lewat Indonesia Satu, atau buka Orang Baik atau pasti banyak aplikasi dan website serta media lain yang membantu (sekali lagi gue kurang memperhatikan detail, itu hanya sebagian yang gue tau). Intinya, semakin banyak informasi semakin baik pilihan yang kita punya.

Waktu kita kurang dari 24 jam lagi untuk menyerahkan hak kita dalam bentuk suara demi Indonesia 5 tahun mendatang..

Mau bagian senang-senangnya? Starbucks dan Aksara Indonesia memberikan reward untuk sedikit usaha kita bagi Pemilu 2014 yang lebih baik.. Jadi, ya kalau bisa jangan golput yah :)

Aksara Peduli Pemilu 2014

Starbucks Peduli Pemilu 2014