" Three words I can sum up everything I've learned about life: it goes on. " Robert Frost

Thursday, February 21, 2013

Kalau Mereka Bisa, Kita Juga

Kalau menulis menyembuhkan pantas saja toko buku semakin menjamur. Dengan mudah dapat kita temukan di mana saja. Tentu semakin banyaknya toko buku menunjukkan seberapa banyak orang yang tertarik untuk membaca dan membuat buku. Liat aja sekarang ini nih, semakin banyak self-publisher. Yang mana siapa saja dari kita yang ngerasa punya bakat atau punya kegilaan akan menulis dan yakin untuk menerbitkannya, udah nggak lagi perlu sekadar bermimpi akan karyanya yang ingin dia tunjukkan ke publik.

Ketika ada kemudahan seperti itu paling tidak setengah jalan dari mimpi lo sudah terakomodasi dengan baik. Tinggal sejauh apa lo yakin dan konsisten untuk mempersiapkan "bayi pertama" lo "dilahirkan" ke "bumi".

Namanya cita-cita, keinginan, impian, itu semua ada jalannya tinggal kita yang mau ngebawa sejauh apa kita melangkah untuk bisa sampai ke titik paling dekat atau mungkin bersinggungan dengan mimpi kita tadi. Gue selalu percaya suatu hari dengan ketekunan, usaha, doa dan konsistensi, gue bisa ngebuat at least satu novel gue terpampang, ada di deretan rak buku-buku yang siap dijual dan dicari oleh para pengunjung toko buku.

Sampai sekarang kerjaan gue cuma jadi pengunjung dan pembeli setia. Gue pengen punya buku, tapi belum ketemu aliran gue seperti apa, padahal ngerti perbedaan tiap aliran aja gak. Cuma gue selalu percaya, aliran itu gak perlu dicari, tapi kita pasti akan bertemu dengannya di titik yang paling sempurna, kaya ketika permintaan dan penawaran pasar ketemu di titik ekuilibrium. Hahahha.

Satu sih yang agak menggelitik, beberapa waktu terakhir ini, kalau gue mampir ke toko buku, udah hampir setiap toko buku memiliki sederatan rak panjang yang berisi novel-novel remaja dengan tema "KOREA". Entah dari judulnya, nama tokohnya, latar belakang ceritanya sampe keseluruhannya. Bukan apa-apa sih, cuma semakin menyadari sudah sejauh ini ternyata invansi ke-KOREA-an sampai di negeri ini. Later, gue pengen bahas lebih detail soal ini di satu judul sendiri.

Sekarang intinya gue mau bilang, gue berusaha terus menghargai semua tulisan yang terlihat dan terbaca oleh gue. Gue sedang dalam proses belajar dan berusaha mewujudkan keinginan gue untuk melihat "mahakarya" gue nongol di atas rak toko buku. Gue di sini juga turut mendoakan semua yang di luar sana yang sama dengan gue. Gue percaya bahwa jika mereka (penulis-penulis hebat di luar sana) bisa, maka kita juga bisa. :D

Wednesday, February 20, 2013

Manusia

Lalu mengapa mereka lari bersembunyi dibawah langit hanya untuk saling menutupi rasa yang pernah ada. Aku muak dengan semua yang diumbar di dunia. Kamu yang begitu egois, tamak, mencinta dua orang dalam waktu yang sama, dia yang munafik mencinta tapi ingkar, aku yang bodoh mencinta hingga mampus. Tidak adakah kadar yang normal di dunia, yang biasa saja, yang tidak perlu berlebihan.

Katanya hidup ini adil, semua yang ada di tanah yang kita jejak ini pasti terhubung yang nantinya akan membawa kita menuju keseimbangan. Lalu mengapa neraca kebersamaan kita tidak pernah seimbang. Jika saat ini berat ke kanan, esoknya akan si kiri akan menunggu kapan jarum perhatian itu akan condong ke arahnya.

Gila. Manusia yang katanya berlogika, berjiwa, makhluk yang paling sempurna karena bisa menggunakan akalnya saja mampu dimainkan oleh perasaannya sendiri. Lalu di mana letak kelebihan manusia yang disebut akal itu? Apa bentuk rasionalitas yang diagung-agungkan? Halah. Paling itu hanya buatan filsuf-filsuf yang berkhayal tinggi atau mungkin mati rasa.

Kenapa? Ingin protes dengan kesinisan aku yang menggila? Menuduh filsuf yang kalian banggakan tak lebih dari sekadar bualan kosong tanpa bukti. Coba berdiri di atas kaki ku, berjalan dengan langkah yang ku jejak, hidup dengan kegelisahan ku, baru sampaikan apa yang berkeliaran di benak kalian tentang rasanya menjadi aku.

Kalau adil, pasti tidak ada yang tersakiti di muka bumi ini. Tidak perlu ada kriminalitas, tidak perlu ada kekecawaan. Lalu kalian mau bilang apa? Mau bilang itu lah hidup, tidak selamanya di atas, karena jika kita tidak pernah merasa sakit kita akan lupa rasanya bahagia. Haah. Sampai kapan kalian, manusia-manusia, mau terus menerus ingkar dan memilih berlindung dari hidup hanya dengan permainan kata?

Kalian tau. Rasionalitas kalian, akal kalian, tidak menolong banyak. Hanya mengajarkan kalian untuk menjadi pembohong. Karena berusaha terus mencari pembenaran atas semua kesalahan yang terjadi dalam hidup kalian. Merangkai kata seolah menjadikan hal itu benar, seolah akal kalian hebat, lalu nanti kalian menghibur diri sendiri dibalik kata-kata itu. Kalian bodoh.

Aku nestapa yang hidup dalam gelap luka. Aku manusia seperti kalian, tapi aku tak pernah ingkar dengan rasaku. Aku tak ingin menjadi manusia yang sama bodohnya dengan kalian. Yang hanya bisa mengikuti arus, mengikuti dunia, menjadi global tapi lupa menyempatkan waktu mendengar rasa kalian berbicara, aku hanya tidak ingin melupakan siapa aku dan menjadi orang lain agar tidak tersakiti.

Tapi yang aku tau, aku tetap lah bodoh karena terjerat rasa yang menggila akan kamu yang bahkan tidak bisa mengalahkan egois itu. Lalu aku melangkah jauh, pergi, berbahagia dengan hidupku, tapi menyisakan lubang dalam tak berujung karena hanya tak ingin terus terluka akan kamu. Kamu, iya kamu! Kamu manusia paling hebat karena telah berhasil merusak hidup orang lain hanya untuk memenangkan rasamu seorang.

Tuesday, February 5, 2013

Kenapa Senja?

Dalam obrolan ringan yang iseng di suatu sore menjelang malam hari, gue dan seorang teman membicarakan fenomena alam yang mungkin sedang sangat fenomenal. Senja. Kenapa gue bisa bilang fenomenal? Karena entah kalian sadari atau nggak, si senja ini sedang sering-seringnya dijadikan inspirasi, ide atau bahan tulisan yang digemari di mana-mana oleh banyak orang.

Kembali ke topik. Akhirnya kita membicarakan apa alasan dibalik kami memilih senja sebagai hal yang menarik. Dengan sebuah pertanyaan awal "Kenapa Senja?" Saat itu alasan yang gue utarakan adalah

"Karena senja itu awal dan akhir dari semua yang berjalan di dunia. Menjadi akhir bagi siapa saja yang sudah beraktivitas sejak pagi hari, maka ketika senja menjemput mereka satu per satu melepas rekatan aktivitas tersebut dan beristirahat menjemput malam yang santai. Sebaliknya bagi sebagian orang, senja menjadi titik bahwa sesaat lagi semua aktivitas yang hendak mereka lakukan akan segera dimulai. Ketika malam perlahan menjadi pekat, satu per satu mulai membiarkan diri mereka menjadi terkekang oleh aktivitas rutin. Berkebalikan tapi seolah menjadi titik awal dan akhir, layaknya alpha dan omega."

Sementara seseorang yang menjadi lawan bicara gue kali itu menjawab alasannya .. (kira-kira begini)

"Nggak sampai sejauh itu sih. Cuma lebih kepada moment atau saat terlihat jelasnya pertukaran waktu. Dari terang menjadi gelap. Seperti malam menjadi pagi, senja itu tanda pagi usai, malam menjemput."

Setelah membaca kedua alasan itu, gue baru menyadari, secara garis besar, kedua alasan itu sama aja. Bahwa senja itu menjadi penanda akan ada sesuatu yang berakhir yang mana ketika sebuah akhir menjemput, awal baru akan menanti diujung pintu pergantian. Bahwa senja adalah saat pergantian itu mengambil alih memberi ruang beristirahat bagi sebuah sisi dan membiarkan sisi lain mengambil perannya. Sehingga segala apapun yang bergerak pada hari akan tetap seimbang dan berjalan sebagaimana mestinya.

Sesederhana itu, keseimbangan itu berjalan dan terlihat jelas pada bagaimana alam mengajarkan dengan ringan. Mungkin tidak pernah teramati dengan seksama, berlalu begitu saja, tapi menyimpan maknanya sendiri.

Tulisan ini bisa salah, bisa benar. Tidak pernah ada pendapat yang seratus persen serupa. Hanya ada yang mirip tapi tak pernah menjadi sama yang identik. Tulisan ini dibuat kala senja di Selasa, 5 Februari 2013 sedang merah keunguan. Sempurna, anggun, dan menenangkan. Lalu "Kenapa Senja" bagi kalian? :D