" Three words I can sum up everything I've learned about life: it goes on. " Robert Frost

Friday, May 8, 2015

Jakarta Itu Keras, Apalagi KRL-nya

Cerita ini muncul kala saya sedang dalam sebuah perjalanan menuju kantor. Tentunya cerita ini muncul di KRL, moda transportasi utama untuk mencapai kantor sehari-harinya. Siapa pun, mungkin bukan hanya saya, pengguna KRL lainnya paham benar akan banyaknya kisah yang terlihat nyata dalam perjalanan singkat itu.

Kali ini suatu kesadaran untuk tidak bersikap serakah mengetuk pemandangan mata saya, siang itu.

KRL sedang berhenti di stasiun Sudimara, bagi kalian yang menumpang KRL jurusan Maja-Tn Abang pasti paham benar, Sudimara merupakan pusat keramaian. Penumpang menumpuk di sana, maka tidak ayal, gerbong perempuan yang kosong mendadak sempit jika Sudimara menjadi perhentian.

Berbondong-bondong perempuan "super" masuk ke gerbong. Saya menyebutnya super karena rasanya sulit menemukan kata ganti untuk menggambarkan keteguhan dan ketangguhan perempuan di gerbong khusus wanita KRL. Cobalah sendiri dan rasakan!

Kembali ke cerita, tempat duduk barisan saya sudah diisi oleh 6 perempuan. Artinya, secara kemanusiaan, hanya tersisa satu tempat untuk satu perempuan lagi. Tapi nyatanya, perempuan "super" tidak pernah berhenti berjuang.

Maka, seorang perempuan mendesak masuk di celah sempit di kursi yang kini sudah diduduki oleh 7 orang perempuan. Iya, dia memilih merengsek masuk di antara saya dan seorang ibu. Saya dan ibu itu pun memisah, memberi ruang seadanya. Seperti yang bisa kalian bayangkan, dia hanya punya ruang kecil untuk sekadar duduk kecil dengan daya tumpu yang pasti besar di kaki. Percayalah, duduk seperti itu hanya akan membuat lelah daripada nikmat.

Tidak lama, KRL melanjutkan perjalanan. Berselang waktu, si mbak mulai kewalahan menahan beban tubuhnya (mungkin kakinya pegal) tapi saya enggan peduli. Itu risiko dari pilihannya. Ia terus bergerak merengsek masuk, mungkin berharap celah yang ironisnya tidak ada.

Nyatanya, tindakan itu tidak hanya meresahkan saya, tapi juga si ibu di sebelah saya tadi. Hingga akhirnya si ibu memilih untuk meninggalkan kursinya dan berdiri di sisi pintu. Itu menyebalkan, saya bukan pembela kebenaran, tapi etikanya si mbak lah yang harus sadar diri.

Belum berhenti di sana, si mbak pun mengeluarkan suara "nah gitu dong". Seketika saya menoleh, tentunya bukan saya yang melemparkan pandangan tidak suka, tapi juga beberapa orang di hadapan dan di sekitar si mbak.

Tidak kah kita sebagai manusia dititipkan hati nurani dan akal pikiran untuk mendulang segala tindakan yang kita lakukan? Bagi saya, bukan si ibu yang harus beringsut tapi si mbak. 

Sayangnya, perempuan-perempuan KRL cenderung buta pikiran dan hati. Hal yang saya takutkan melingkupi saya suatu hari nanti (semoga tidak). Saya paham akan upaya diri untuk mendapatkan yang terbaik, tapi bukan berarti menyikut orang lain untuk itu adalah hal yang sah.

Jika, untuk hal sekecil itu pun kita sudah buta, lalu bagaimana dengan hal lainnya di dunia ini? Nurani kita semakin terkikis, kesadaran hidup bermasyarakat semakin tergerus. Hanya satu cara untuk menjadi normal, berkaca dan terus berkaca. 

Saya setiap harinya berusaha untuk terus berkaca kepada mereka yang egois. Menjadikan kesalahan tersebut untuk tidak melakukan hal yang sama. Jika kita berharap yang terbaik bagi kita, begitu pun orang lain. Jika tempat itu sudah menjadi rezeki kita, dia tidak akan pernah berlari. 

Jakarta itu keras, apalagi KRL-nya.