" Three words I can sum up everything I've learned about life: it goes on. " Robert Frost

Tuesday, December 30, 2014

Alter Ego Sang Supernova KPBJ

Keinginan untuk menulis sedang getol dalam diri saya akhir-akhir ini. Mungkin karena tidak adanya libur walaupun ini musim libur. Percayalah ini hanya curhat sesaat, toh pada dasarnya sampai detik saya menulis rangkaian kata di tulisan ini, saya belum merasa tertekan apalagi jemu tiap hari bertemu meja di kantor yang sama.

Terlepas dari libur dan kecintaan saya pada pagar hitam baru dicat depan salah satu gedung di Kebayoran Lama ini, saya ingin menuliskan satu hal yang menggelitik tangan untuk melontarkan apa yang dipendam raga. (Maaf dengan paragraf yang terlampau panjang, jangan lupa untuk bernafas saat membacanya. Itu kebiasaan. Buruk.)

Anggaplah saya penikmat novel biasa. Menghabiskan banyak hari untuk membaca novel. Menikmati setiap baris kata di dalamnya yang apik. Lalu, dalam masa transisi dari bacaan teenlit saat SMP dan SMA (Oh, dan saya bukan penikmat sastra serius pada masa itu, sekarang pun belum rasanya), saya menemukan buku berjudul “Supernova : Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh” (KPBJ) di awal masa perkuliahan.

Awalnya, buruk. Sebuah permulaan yang buruk untuk sebuah novel yang jelas bukan pertama kali saya baca. Sebagai catatan, saya sudah terlebih dahulu menikmati novel Dee Lestari lainnya, seperti Filosofi Kopi dan Perahu Kertas. Ternyata buku yang ini berbeda, sangat.

Saya menghabiskan hampir sebulan. Rekor terlama untuk sebuah novel yang menarik saya dalam pusarannya. Bukan berarti saya tidak membacanya setiap hari. Bukan saya membedakannya dengan novel lainnya yang saya baca, tapi hanya saja, sulit bagi saya memahami setiap kata dan kalimat yang disajikan.

Lantas saya menyerah? Tidak. Ketika itu, saya membaca satu halaman bisa menghabiskan waktu berjam, karena dibaca lagi dan lagi. Asing rasanya berhadapan langsung dengan banyak kata yang terjait rapi dalam kalimat obrolan pemerannya. Saya dan google, berteman akrab saat membaca novel itu.

Waktu berlalu, hingga saat ini, KPBJ mengambil tempat terbesar dalam ingatan saya sebagai novel yang pantas dibaca. Novel itu mengajarkan saya bahwa fiksi bisa sebegini indah dan cerdas. Sejak itu, saya belajar banyak, tidak ingin menulis sesuatu yang dangkal, walaupun proses itu masih berlanjut dan bergerak tipis.

Hingga di awal bulan ini, KPBJ hadir dalam medium berbeda. Filmnya rilis di bioskop. Ekspektasi tidak saya gantung begitu tinggi. Sesuatu yang cerdas lewat kata kadang tak menemukan perbandingan yang pas dalam bentuk visual. Sebaliknya pun begitu, rasanya lumrah.

Tapi layaknya seorang penggemar, ada kekecewaan yang terselip. Tidak besar memang, namun terasa mengganggu. Kekosongan itu hadir lewat sosok yang saya agungkan di dalam novelnya. Mungkin bagi setiap pembaca KPBJ, menyadari hal ini.

Saya hampa melihat sosok Diva. Entah imajinasi saya yang terlalu mengagungkannya atau memang ada yang salah dalam pemilihan tokohnya. Tapi yang jelas, Diva tidak mampu membawa arah dan dampak yang besar seperti apa yang saya rasakan lewat bukunya.

Bagi saya yang awam, Diva harusnya sesosok orang yang fasih berbahasa Indonesia. Dia pencerita dan pusat utama cerita ini mengalir. Dari awal film saja dia sudah meluluhlantakkan langit studio bioskop KPBJ saya dengan lafalnya yang mengganggu. Kalimat indah Dee Lestari tidak tersampaikan dengan sempurna.

Setelah Diva, saya mempertanyakan di mana Gio? Sosok yang terus berdampingan dengan Diva hingga Supernova berikutnya. Sekecil itukah perannya sehingga tidak pantas mendapat ruang di visual? Atau memang KPBJ yang ini ingin memosisikan diri sebagai suatu yang tunggal, lantas dengan membuang Gio, KPBJ resmi berdiri sendiri, terlepas dari kawanannya. Saya bingung.

Selebihnya, saya rasa tidak pantas mengulang dialog yang indah di baca dan diresapi namun kaku diucapkan. Penonton disajikan dengan dialog yang tumpah. Belum lagi pengulangan adegan. Rasanya ingin bilang cukup.

Novel ratusan halaman punya lebih banyak bagian untuk digambarkan dari hanya sekadar mengulang adegan sarat cahaya berdansa disamping piano kan. Belum lagi, perkenalan Diva dan Ferre yang terkesan terburu-buru.

Ah, mungkin memang saya ditakdirkan untuk membaca, menikmati kata yang menjadi nyala dalam imajinasi. Daripada menjadi penerima bayangan lewat visual yang seketika menggelontorkan imajinasi yang sudah terlampau lama terpendam.

Paling tidak, film ini mencoba. Tidak ada yang salah dengan mencoba kan. Tidak berhasil bagi saya bukan berarti lantas film ini tidak berhasil bagi yang lainnya. Toh pada akhirnya saya menonton khidmat hingga film usia.


Mungkin ada benarnya, apa yang sudah kamu baca biarlah dilumat habis oleh imajinasi liar, sedangkan apa yang sudah kamu lihat biarlah tersaji tanpa perlu disentuh personal. Layaknya seseorang dengan alter egonya, mereka berbeda dan tak pantas disandingkan.

Monday, December 29, 2014

Ketidakpastian Menggelayut di Balik Hilangnya Pesawat Minggu Pagi

Saya atau kalian atau mereka, kita ada di posisi yang sama. Menggantungkan asa dan bertanya dalam satu kesempatan yang sama. Ketidakpastian membuat segalanya runyam, setinggi apapun asa yang digantungkan, redam oleh kegelisahan yang menggelayut.

Mungkin posisinya sama dengan nilai tukar EUR terhadap mata uang negara dunia lainnya saat ini. Ada asa yang digantung agar Samaras, Perdana Menteri Yunani, menang voting dan Yunani terhindar dari regenerasi bail out yang dibawa Partai Kiri Yunani, Syriza. Serta kemungkinan percepatan pemilu nasional Yunani di awal tahun depan. Pasar tidak menyukai arah kebijakan Syriza, efeknya EUR terkapar.

Begitupun dengan hilangnya pesawat Air Asia QZ8501, Minggu (28/12) pagi 07.55 lalu. Tidak ada keluarga bahkan seorang pun yang berhati nurani menyukai kenyataan pesawat tersebut hilang. Dalam setiap kasus hilangnya pesawat, banyak misteri yang ikut terbawa. Ada ketidakpastian yang entah kepada siapa harus ditujukan. Sentimen negatif ketidakpastian, menggerus harapan yang tersisa, pelan-pelan.

Meski kedua posisi di atas jelas berbeda rasa simpatik dan dampaknya, intinya satu, ketidakpastian menggelontorkan asa. Memperburuk keadaan dengan asumsi yang tidak berbatas. Karena tidak seorang pun pantas menjawab, tidak ada seorang pun yang tahu kebenarannya. Jawaban itu seolah hilang bersama 155 penumpang dan 7 orang awak pesawat yang terkenang.

Ketidakpastian menghampiri lewat dugaan dan asumsi. Lewat 2 menit yang terasa sesaat, 162 orang tidak diketahui keberadaannya, seolah awan menyimpan mereka rapat, memberikan ketenangan yang tidak mampu didengar bumi yang kepalang riuh.

2 menit, mungkin setara dengan perjalanan kaki saya setiap pagi, Stasiun Palmerah – Pasar Palmerah. Perjalanan singkat, terlampau singkat bahkan mungkin untuk logika menerima, pesawat Airbus A320-200 itu hilang tanpa sempat menitipkan pesan.

Direktur Safety dan Standard AirNav Indonesia Wisnu Darjono mengungkapkan, pada pukul 06.12, ATC Bandara Soekarno-Hatta berkomunikasi dengan pilot AirAsia QZ8501. Dia meminta untuk bergeser ke kiri untuk menghindari cuaca buruk. Izin itu diberikan dan akhirnya pesawat bergeser 7 mil dari posisi awal. Namun, kata Wisnu, pilot kembali meminta mengubah posisinya ke ketinggian 38.000 kaki.Saat kami sampaikan jawaban agar naik ke 34.000 kaki, sudah tidak ada lagi jawaban sekitar pukul 06.14” - Sumber : kompas.com, judul “Dua Menit Penuh Tanda Tanya dari AirAsiaQZ8501.

Dari sekian banyak alasan yang mungkin berizin menyusup masuk ke relung hati hanya jawaban permainan cuaca yang diluar kendali. Berikut saya sertakan ragam dugaan dari pakar penerbangan soal spekulasi cuaca yang mungkin hadir, menyinggahi pesawat Air Asia Surabaya-Singapura ini :

Para pilot berkeyakinan kru (QZ8501) dalam upaya menambah ketinggian untuk menghindari badai, entah bagaimana menyadari mereka terbang terlalu lambat," ujar dia. Dengan kecepatan itu, mereka tertarik ke aerodynamic stall, seperti yang terjadi dalam hilangnya Air France AF44 pada 2009," lanjut Thomas, seperti dikutip dari AAP. Prinsip situasinya, papar Thomas, pesawat terbang dengan kecepatan terlalu lambat di ketinggiannya saat itu, ketika udara terlalu tipis, sehingga sayap tidak mampu lagi menopangnya. Dan pesawat stall. Aerodynamic stall." - Sumber : nationalgeographic.co.id dengan judul : PakarPenerbangan: Insiden QZ8501 Mungkin Sama dengan Air France AF447

Analisis cuaca yang dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menguatkan dugaan pesawat AirAsia QZ8501 gagal menghindari awan tebal kumulonimbus yang berada pada rute penerbangannya. Kepala Lapan, Thomas Djamaluddin, mengungkapkan bahwa adanya dinamika cuaca yang sangat aktif, adanya awan kumulonimbus, dan terdapatnya pesawat di ketinggian lebih tinggi menyulitkan QZ8501. Awan kumulonimbus terbentuk karena adanya penguapan air laut yang hangat dengan cepat. Awan ini memang tebal, bisa mencapai ribuan kilometer dan memang sulit dihindari dengan tiba-tiba. Kemungkinan pesawat mengalami turbulensi hebat karena tidak bisa menghindar dari awan kumulonimbus yang menjulang tinggi. Pesawat tidak mampu menghindar walaupun dengan naik ke atas. Belok ke kanan atau ke kiri juga sulit, akhirnya harus masuk," ungkap Thomas. - Sumber: nationalgeographic.co.id dengan judul Analisis Lapan Perkuat DugaanQZ8501 Gagal Hindari Awan Kumolonimbus.

Ketiadaan kode darurat pilot, menurut Yayan, sangat mendukung dugaan pesawat terjebak dalam kungkungan awan CB. "Itu awan, tapi berat karena ada butiran es. Bisa merusak instrumen pesawat, dari komunikasi sampai strukturnya," ujar dia. "Kalau sudah begitu, selain alat rusak, kemungkinan pilot sudah sangat panik bahkan untuk sekadar bilang 'Mayday'," tutur dia. Ketiadaan panggilan dan sinyal darurat dari pesawat, menurut Yayan, menunjukkan pesawat pada situasi yang sangat berat, dengan kejadian teramat cepat yang merusak peralatan komunikasi dan kemungkinan pesawat itu sendiri. - Sumber : nationalgeographic.co.id dengan judul : Analisis Awal :Apakah QZ8501 Terlambat Naikkan Ketinggian?

Mari untuk sementara, nyatakan kesepahaman dan persetujuan dengan dugaan yang dilontarkan oleh mereka, para pakar penerbangan. Walau hati tak selamanya bisa menerima alasan, sekalipun logika mengangguk tanda setuju, tapi daripada membuka tabir batas ketidakpastian lebih lebar, biarkan cuaca menjadi kambing hitam untuk saat ini.

Dugaan lain, padatnya lalu lintas di udara saat ini mengganggu peluang pesawat milik Air Asia ini untuk bertahan.

Yayan menyebutkan, ada setidaknya empat pesawat lain yang berdekatan dengan QZ8501 pada saat itu, yakni Garuda Indonesia berkode penerbangan GIA602, pesawat Lion Air berkode LNI763, AirAsia berkode penerbangan QZ502, dan Emirates berkode penerbangan UAE409. Dari data yang Yayan dapatkan, ketinggian GIA602 adalah 35.000 kaki, LNI763 38.000 kaki, QZ502 38.000 kaki, dan UAE409 35.000 kaki. "Kontak terakhir disebut QZ8501 minta menambah ketinggian 6.000 feet dari 32.000 feet. Kemungkinan pilot langsung menaikkan ketinggian, tidak memutar dulu misalnya, tetapi tidak terkejar untuk menghindari awan CB. - Sumber : nationalgeographic.co.id dengan judul : Analisis Awal : ApakahQZ8501 Terlambat Naikkan Ketinggian?

Jika memang salah satunya itu, pantas kah dipikirkan kembali kenyataan bahwa jalur udara Indonesia saat ini sudah terlalu sarat pengendara? Jadi, kepadatan tidak hanya terjadi di depan mata lewat penuhnya antrian take off dan landing pesawat di bandar udara Soekarno Hatta, tapi juga lalu lintas di udara?

Jika antrian itu mengular di sini, ditambah dengan kenyataan bahwa Air Asia QZ8501 harus berbagi lintas udara dengan 4 pesawat lainnya dijalur yang sama, sudah seharusnya perbedaan jam terbang dan mendarat menjadi pertimbangan yang matang.

Walau saya tidak memahami mekanisme dan pertimbangan yang diambil, pikiran itu menggelayut saat membaca berita di atas. Jika di jalan tol kemacetan bisa dihadapi dengan kontrol yang sederhana dan langsung antara mobil dan pengendaranya, keadaan di udara jelas berbeda.

Sang pilot dan kru bukanlah pengambil keputusan mutlak, ada pertimbangan dan persetujuan dari Air Traffic Control (ATC). Proses pengiriman informasi jarak jauh yang rentan terhadap pergesekan riskan. Sementara nyawa dan keselamatan bergantung bersama awan-awan yang berarak.

Pernah membayangkan, kalau udara macet seperti jalan tol? Tidak hanya izin bergerak yang terbatas, tapi arus komunikasi akan padat dan sarat izin, belum lagi persoalan bahan bakar. Jika mobil bisa bergegas ke SPBU terdekat, pesawat harus berhenti mengisi avtur di perhentian selanjutnya.

Terlepas dari skema cerita soal padatnya lalu lintas udara yang saya cipta. Tidak semua lantas menyisipkan dugaan negatif. Masih ada asa yang senantiasa menggantung, pantas juga tangan ini berpegang erat pada sisinya,

Mantan Dirut PT Merpati Nusantara Airlines ini juga mengherankan matinya alat pemancar yaitu locator beacon. Meski demikian, jelasnya, kabar ditemukannya pesawat dengan rute Surabaya-Singapura tersebut tetap harus ditunggu. "Siapa tahu mendarat darurat di daerah yang remote. Kita mesti jaga terus harapan tersebut," jelasnya. - Sumber : nationalgeographic.co.id dengan judul, Capt.Jhony : Air Asia QZ8501 Kemungkinan Mengalami Kecelakaan Fatal

Walau memang kita hanya mampu berpegangan pada seutas tali yang tipis dan rapuh. Tak pantas rasanya melepas pegangan itu kala ketidakpastian masih mengambil peran. Sekecil apapun itu, ada dia yang Maha dan melebihi segala sesuatunya di dunia ini.

Memanjatkan doa, senantiasa berikhtiar, sejumput keikhlasan akan membuka jalan. Mungkin pesawat, awan dan cuacanya sedang menyimpan sesuatu, entah kita yang belum saatnya tahu atau memang mereka sedang ingin diikhlaskan. Al-Fatihah.






Friday, December 5, 2014

Karena Ketika Itu Kalau Saja

Karena saya nggak bisa terus-terusan jadi orang yang menghalangi kamu melangkah ke sana. Karena saya juga tidak punya kemampuan untuk menghapus masa lalu kamu. Karena saya juga tidak pernah minta datang setelah dia.

Ketika saya punya hak lebih, maka jangan pernah bertanya jika memang kamu sudah mengerti. Ketika saya mendengar pertanyaan itu maka saya semakin yakin bahwa kamu memang menginginkannya. Ketika itu saya tau saya hanya orang lain yang datang setelah dia.

Kalau saja ada ruang untuk memilih apa yang akan dijalani hari ini dan esok dan esoknya lagi, saya akan menghapus semua hari yang berkaitan dengan masa lalu. Kalau saja ada hari tanpa masa lalu. Kalau saja saya datang lebih dulu dari dia.


Karena saya tidak ingin terus berkelana jauh mencoba meninggalkan satu titik yang masih kosong. Karena suatu saat kamu dan saya akan berputar kembali ke sana dan tersandung karena lubang itu. Karena saya ada di sana dan bukan dia.

Ketika itu saya tidak ingin meninggalkan kamu dalam lubang itu. Ketika itu saya ingin kita kembali melangkah bersama dan bukannya meninggalkan satu atau yang lainnya dalam keterpurukan. Ketika itu saya sudah di sana bersama kamu sejak lama bukan dia.

Kalau saja ruang itu masih cukup lega, biarkan saja saya mengisinya sampai sesak. Kalau saja kita sudah berhasil melangkah bersama sejauh ini dan cukup, biarkan saja saya terus beriringan bersama kamu. Kalau saja saya yang akan selalu ada di sana dan bukan dia.  

-NDN

Thursday, July 10, 2014

Return from nowhere

Menulis lagi setelah dua bulan. Cukup lama, malah sangat lama. Gue bukan berhenti mengerjakan kegiatan pemberi semangat ini. Hanya saja, seolah kemampuan ini diremuk redam oleh kesantaian yang melewati batas. Berkali-kali gue berhadapan dengan laptop dan kertas, berkali-kali juga gue menemukan kebuntuan, tanpa jangan kan sebaris kalimat, sepenggal kata pun gagal hadir.

Beberapa hal membuat gue meragukan kemampuan gue menulis. Kebimbangan itu terus hidup dan perlahan semakin menjalar, mengakar kuat, menjadikan gue tertutupi oleh akal yang membusuk. Hal-hal remeh seperti pertanyaan saat wawancara kerja "kamu lebih suka menulis di bidang apa?" ternyata tidak seremeh itu, gue terpaku, karena sejujurnya sampai sekarang gue belum tau tulisan seperti apa yang gue banget, yang mampu membuat gue merasa lebih dan memang mumpuni di bidang itu. Entah teman-teman yang lain merasakan atau tidak, tapi yang jelas pertanyaan itu sempat mengusik. Dan setiap pertanyaan itu muncul gue hanya mampu menjawab "Apa aja mba/mas, belum ketemu yang pas banget," What a shame!

Belum lagi beberapa lomba menulis yang gue ikuti tidak menghasilkan apa-apa. Perasaan tidak mampu bahkan menulis di bidang fiksi yang gue rasa kelebihan, pun memuncak. Padahal ya namanya perlombaan tidak semua bisa jadi pemenang kan. Tapi mungkin karena didorong minimnya kegiatan (saat itu menunggu wisuda, sudah selesai magang dan skripsi serta belum mendapat pekerjaan) maka pikiran negatif dengan mudahnya menyusup.

Hingga berujung pada minimnya usaha dan niat untuk menulis (bayangkan, sejak kapan menulis membutuhkan niat dan usaha sebesar itu, jika selama ini kegiatan itu selalu menyenangkan). Sampai akhirnya malam ini, gue buka lagi blog ini, dan gue sadari 2 bulan bukan waktu yang sebentar untuk lari yang sayangnya tidak membawa gue kemana-mana selain perasaan tidak menentu.

Tapi malam ini entah siapa yang menggerakkan, gue log in blog lagi, gue baca-baca postingan lain di home dan gue menemukan satu komen tertinggal di post cerpen gue terakhir. Erika, muncul lagi (she's just too supportive for me, because she left some comments on my mostly post) setelah sekian lama postingan gue sepi pendapat Erika, mendadak dia muncul lagi. 

Kalau saja kadang perasaan tidak melampaui besarnya daya intrepretatif kata-kata gue mungkin udah menuliskan sepanjang mungkin perasaan meledak ini. Erika menulis komen yang simple, tapi dia membuat gue tau, bahwa tulisan itu tidak butuh pembenaran untuk berada di sana. Tidak butuh niat menggebu dan keinginan unggul dari yang lain. Dia hadir karena memang dia tersusun rapi dari apa yang seharusnya disampaikan. 

Perasaan ketidakmampuan menulis bagus adalah perasaan yang buruk jika kalian seperti gue, yang bangga menulis. Komen Erika yang bilang "Nami banget" seolah menyadarkan gue, bahwa gue tidak harus memenangkan setiap lomba untuk bisa menulis, tidak harus mampu menjawab apa bidang yang paling pas untuk gue tulis, tidak perlu membiarkan kejemuan mengahalangi setiap asa untuk menulis yang menggebu.

Karena mungkin gue tidak bisa menyampaikan sulitnya perasaan tidak menulis ini pada siapapun tapi Erika secara tidak langsung seolah mengerti dan menyentuh titik yang benar :')


PS : I don't know what Erika has do lately, but if it's about take her to London and make her big dreams come true, I wish she got the prize and do "our-different-place" dream soon because she deserve every piece of it!!! And thanks for always remember how we have same dream in different place, Er! :)

Wednesday, April 16, 2014

Senyum Legong di Ufuk Bali


Langkah pertama ku ayun, menjejak undakan tangga teratas, kepala ku melongok jauh, bau asin laut dan cecap udara yang lengket seketika menguar. Dalam hati aku bergumam “Selalu seperti ini..” Jangan salah kan aku atau ribuan orang lainnya yang mendamba ketenangan dan keanggunan pulau ini. Bali… Seandainya saja hari ini dan 5 tahun yang lalu sama. Mungkin aku bukan melangkah gontai menyambut sapaan “asin” mu malah balas memelukmu hangat dengan senyum seringai.

5 tahun yang lalu..
“Tapi gue nggak setuju kalau kita ngelewatin Bali gitu saja hanya karena kita merasa kita tidak akan pernah mampu menarikan tarian mereka,” ujar ku menggebu

“Paham gue, cakep memang tuh pulau, siapa yang nggak mau liburan ke sana. Tapi tujuan sanggar kita bukan buat liburan Dey, lo harus inget itu,” Ghea menentang tak kalah keras.

“Ya siapa juga yang mau liburan. Itu sih bonus. Menurut gue justru karena kita nggak bisa tariannya lah kita harus ngasi kesempatan untuk mengenal tarian itu dengan lebih. Bukan malah dihindari,”

“Kenapa sih lo sepengen itu ke sana?”

“Karena gue nggak hanya ingin bisa menarikan tarian yang gue bisa. Gue mau kita bisa semua tarian. Mungkin nggak mahir tapi paling nggak ngerti pakemnya. Kenapa lo harus nggak mau? Toh tujuan kita sampai sekarang belum jelas mau ke mana kan,”

“Oke, tahun ini gue ngalah, lo yang atur semua, lo yang urus semua kegiatan kita di sana. Gue yang beresin anak-anak. Minggu depan diobrolin lagi with progress please,”

Obrolan seperti ini memang bukan pertama kali terjadi antara gue dan Ghea. Sahabat yang sudah gue kenal sejak SMP. Keinginan dan impian kita sama, bisa nari semua tarian tradisi Indonesia dan keliling dunia khususnya Indonesia.

Sejak selesai kuliah dua tahun yang lalu. Kita berdua memutuskan untuk membuat sanggar sendiri. Meski kami berdua belum bisa jadi pelatih tapi beberapa event dan festival di Jakarta sudah acap kami cicipi.

Hari ini,

“Mba Deyantari? Saya Dayu yang hari ini diminta jemput mba. Mobilnya di sebelah sana mba,”

“Oh halo Dayu. Nama kita mirip ya Deya dan Dayu hahhaa. Ayo saya ikutin kamu sampai mobil ya,”

Pagi ini aku kembali bersapaan dengan keanggunan kota ini. Aku lebih senang menyebutnya anggun dibanding eksotis. Bagi ku, pulau dewata ini jauh lebih pantas disebut anggun, terkesan mewah dan memiliki prestisenya tersendiri. Tidak sekedar eksotis. Keanggunannya yang menenangkan menjadikannya candu bagi siapa saja yang singgah.

Tapi sayangnya, tempat indah ini tak selamanya mencipta kebahagiaan dalam jejak ingatan. Aku salah satunya, bau “asin” ini selalu mencipta percik perih jika kelewat lama aku cecap.
“Mba Deya jadwalnya baru akan di mulai esok hari jadi hari ini free time ya. Mungkin  m
au ke mana dulu atau langsung ke The Bay Bali saja?”

The Bay Bali adalah tempat yang disediakan panitia untuk kami para peserta seminar menginap. Terletak di Nusa Dua Bali, kawasan yang terkenal karena wisata airnya yang menggoda setiap pelancong di pulau dewata ini.

“Langsung aja ke hotel mba Dayu. Saya belum ingin jalan-jalan,”

Selama perjalanan aku tidak sempat mengukir lamunan sambil menatap lalu lalang orang di sekitaran jalan karena Day uterus bertanya mengenai kegiatan menari ku selama ini. Aku dengan antusias menjawab. Paling tidak, ada yang menghabiskan waktu ku dan tidak membiarkan ku larut dalam ingatan.

5 tahun yang lalu..
“Gue nggak nyangka akhirnya jadi juga kita ke Bali. Lo memang yang paling jago deh urusan keras kepala Dey,” tawa renyah Ghea terdengar.

“Lah, udah gue bilang, nggak ada salahnya dicoba. Workshop langsung 4 hari ditambah 2 hari bersantai bakal buat sesanggar bahagia Ghe,”

Siang itu, aku menjejak di tanah Bali, bersapa hangat dan bertukar senyum dengan semilir lembab penguar bau asin. Semangat ku meledak-ledak. Esok hari, workshop pertama di mulai. Aku tidak sabar belajar tari Legong yang tersohor itu.

Memang ini salah satu kegiatan baru yang aku dan Ghea gagas pada sanggar kami. Seminggu penuh kami akan mampir ke suatu daerah di luar Jakarta dan mendalami pakem asli setiap tariannya. Tentunya itu ibarat sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Karena dengan hidup berdampingan dengan masyarakat asli. Secara tidak langsung kami akan mengenal budayanya pula.

Hari ini..

Aku terbangun cukup malam. Menggeliat sebentar dan memutuskan untuk makan di hotel saja. Setelah menghabiskan makan malam ku, aku memutuskan bersantai menyusuri bibir pantai. Dalam hati aku memuji kecerdasan panitia dalam memilih The Bay Bali sebagai tempat bagi kami para peserta. Ke Bali untuk kerja hanya akan menghilangkan kesempatan kami untuk bersantai di pantai. Namun dengan hotel yang bersisian di pinggir pantai ini, setiap saat adalah liburan.

Ketika malam semakin pekat. Aku rindu Ghea. Rindu yang memudarkan keindahan pantai ini. Menistakan ketenangan yang ditawarkan Bali.

5 tahun lalu..

“Wah gila sih, nggak nyangka ini tarian memang nggak main-main deh. Ampun gue, berasa rontok sebadan,” aku berselonjor di pendopo menghadap hamparan sawah.

“Mana ada tarian tradisi main-main sih pakemnya hahaha. Tapi emang nggak sia-sia deh ke sini kalau akhirnya bisa mantap nih pakem,”

Kami tertawa renyah bersama. Tari Legong adalah salah satu tarian Bali yang terkenal memiliki kompleksitas yang tinggi. Konon katanya tarian ini memang berasal dari kata “LEG” yang berarti keluwesan dan “GONG” yang berarti gamelan. Makanya Tari Legong dan Gamelan Semar Panggulingan, gamelan yang mengiringi tari Legong, tidak dapat dipisahkan.

Tarian ini menggunakan kipas sebagai alat bantu tarian. Meski sulit dan banyak dikembangkan secara mandiri di beberapa tempat khusus di Bali. Tarian ini tetap mampu mengambil hati. Tingkat kesulitannya menjadikan tarian ini indah dan memukau.

Hari ini..

Seminar demi seminar berlalu. Diakhir acara, aku yang memiliki sanggar tari diminta untuk menutup acara dengan menyampaikan pidato singkat. Hari itu aku ingin menuntaskan semuanya. Apa yang aku pendam dan bagaimana Bali begitu menyiksa bagi ku sekaligus begitu aku dambakan aku buka dihadapan publik. Bahwa ini tidak sekadar tarian dan kesuksesan ku. Ini menyangkut aku dan rinduku pada sahabat ku.

5 tahun lalu..

Pagi ini semua mendadak kejam dan hitam bagi ku. Subuh tadi aku dibangunkan karena Ghea yang hendak jalan pagi menyusuri pantai ditabrak motor dengan kecepatan tinggi. Dia tidak terselamatkan.

Aku pagi itu tidak hanya kehilangan sahabat, aku kehilangan semangat ku, aku kehilangan wirama,wirasa dan wiraga ku. Jika aku tarian, aku lumpuh, aku mati rasa, aku tidak selaras dengan musik.

Aku mengiringi kepergiannya dengan diam. Aku tak lagi sempat menangis. Workshop tarian ku tidak selesai, anak-anak sanggarku diredam duka. Aku kehilangan segalanya sejak itu.

Hari ini..

“Tidak lah indah ketika kamu tau menari adalah hidupmu dan hidup orang yang mencintaimu. Lalu kamu membiarkan sanggarmu berjalan tanpa kamu sebagai rodanya. Untuk apa sukses tapi mati bersama duka. Saya memang kehilangan partner sekaligus sahabat. Hari ini saya ingin kalian semua di ruangan ini tau. Bahwa saya berdiri di sini hari ini, karena saya ingin berdamai. Membiarkannya pergi, mengizinkannya damai. Karena dia GONG bagi LE, saya. Karena tanpa dia saya tidak akan lagi utuh, tidak lagi luwes. Tapi tanpa saya, LE, dia tidak lebih dari sekedar gamelan biasa. Maka, saya tidak akan membiarkan kami berdua tidak berarti. Biarkan kami terus bertahan layaknya LEGONG bagi Bali dan kita semua,”

Senja itu.. aku kembali menari LEGONG. Dengan senyum merekah tulus karena aku tau Ghea di sana melihatku. Karena ini kebahagiaan ku. Tarian tradisi hidupku. Bali tempatnya lahir dan hidup, selamanya.


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered! 



Tuesday, April 8, 2014

Satu Hak Suara, Satu Langkah Lima Tahun Mendatang

Gue bukan pemerhati apalagi pengamat politik. Gue hanya orang yang senang membaca dan melihat keadaan sekitar..

Bulan ini satu langkah dari rangkaian demokrasi yang kita pilih dulu sebagai jalan menyelamatkan apa yang bangsa ini punya akan dilaksanakan. Iya, pemilu legislatif berlangsung besok, 9 April 2014. Kita akan berduyun-duyun menyambangi TPS terdekat.

Sesederhana mencoblos memang. Instan, lihat saja yang perlu kita lakukan hanya datang ke TPS, masuk ke bilik suara, lalu pilih-pilih kandidat yang wajah dan namanya terpampang jelas, coblos beberapa kertas yang tersedia, keluar bilik suara, masukan kertas suara ke kotak suara, celupin tangan ke tinta tersedia sebagai bukti sah kita sudah memilih dan voila, satu suara demokrasi diterima.

Pemilu Legislatif, 9 April 2014

Lalu, salahkah kalau mendadak gue berpikir cara instan itu juga acapkali menghadirkan nama-nama instan yang kemudian kita beri tanggung jawab dan kepercayaan untuk memimpin bangsa ini, memimpin kita, menyerahkan asa kita yang menggantung di pundaknya.

Iya kalau diantara ratusan nama dan wajah itu ada sanak saudara atau kenalan kita yang mencalonkan, mungkin hati ini akan mudah memberikan pilihan. Atau paling tidak sudah ada orang yang kita idolakan. Lah, kalau yang kita temui nama dan wajah asing berturut-turut memusingkan mata dan otak, bukan lantas yang ada jadi asal pilih atau ya paling tidak mana yang kelihatan muka artis kita coblos saja.

Seapatis itukah kita menggantungkan harapan kita akan Indonesia yang lebih baik pada keasal-asalan kita sendiri?

Jujur, hingga hari ini gue pun belom mampu menentukan pilihan. Terlampau banyak nama untuk menentukan seperti apa 5 tahun ke depan bangsa ini.

Tapi hingga detik ini belum ada keinginan untuk golput. Pemilu ini pesta rakyat, jadi otomatis pesta gue. Gue gak mau suara gue digunakan oleh orang lain. Paling tidak, itu pilihan gue, hidup gue 5 tahun mendatang dipimpin oleh siapa, nggak akan gue biarkan hangus atau terbuang sia-sia.

Banyak cara untuk mempertimbangkan, banyak cara untuk berpartisipasi, banyak cara jika mau. Hanya saja sadarilah, asa akan selalu lebih indah dari kenyataan. Jika pilihan mu mengecewakan dan tak layak di kemudian hari, paling tidak yakinilah, kamu salah satu yang memilih dia. Semua pilihan di hidup ini punya risiko. Tapi yakinilah juga, kalau tidak sekarang, tidak bertindak, kita tidak pernah akan tau seperti apa hasilnya. Ikut mencoba kan tidak ada salahnya.

Coba baca kompas yang tiap hari mencoba menyuguhi kita dengan informasi pemilu lewat Indonesia Satu, atau buka Orang Baik atau pasti banyak aplikasi dan website serta media lain yang membantu (sekali lagi gue kurang memperhatikan detail, itu hanya sebagian yang gue tau). Intinya, semakin banyak informasi semakin baik pilihan yang kita punya.

Waktu kita kurang dari 24 jam lagi untuk menyerahkan hak kita dalam bentuk suara demi Indonesia 5 tahun mendatang..

Mau bagian senang-senangnya? Starbucks dan Aksara Indonesia memberikan reward untuk sedikit usaha kita bagi Pemilu 2014 yang lebih baik.. Jadi, ya kalau bisa jangan golput yah :)

Aksara Peduli Pemilu 2014

Starbucks Peduli Pemilu 2014

Sunday, March 30, 2014

Satu Langkah Untuk Masa Depan (Lingkungan) Hari Ini

Tinggal di daerah yang sedang dalam masa pembangunan jelas menjadikan gue seolah kehilangan hak untuk terhindar dari debu jalanan yang kotor pengganti oksigen bersih yang seharusnya gue dan semua warga di sekitar sini layak dapatkan.

Lantas apa yang bisa gue lakukan, jika hari ini ketika gue keluar rumah dan menggenggam sebotol minuman dingin, seketika itu juga ia berubah warna. Terselimuti oleh  lapisan cairan berwarna kecoklatan. Mau bilang apa lagi, itu debu jalanan yang tidak terlihat tapi ternyata berjejak. Bayangkan aja itu mungkin yang mengendap di paru-paru gue dan perlu dicatat, itu tidak hanya sekali terjadi, tapi terus menerus, setiap harinya.

Lingkungan gue nggak sepenuhnya parah, rumah gue masih dikelilingi oleh pepohonan rindang yang mencipta bulir embun dan udara sejuk di pagi dan sore hari. Tapi melangkah sejejak dari pintu komplek, kenyataan bahwa lingkungan semakin terkoyak kekejaman manusia terpampang nyata dan tidak terhindar.

Tidak ada yang lebih baik mungkin, daerah lain yang penuh sampah atau daerah gue yang penuh debu dan polusi. Tapi paling tidak yang gue sadari, warga sekitar rumah gue cukup sadar menjaga lingkungan dengan tidak adanya sampah yang berserakan di sepanjang jalan. Sayangnya, pembangunan yang sedang gencarnya, tidak serta merta menyelamatkan kami untuk mendapat udara segar.

Gue atau warga lain lantas bisa apa? Kami tinggal di perumahan, pembangunan entah itu perumahan, ruko atau pusat hiburan tidak terhindarkan. Truk lalu lalang di jalan raya utama. 

Melindungi pohon yang tersisa mungkin salah satu upaya melindungi hak kami sendiri. Membiarkan taman kota menjadi hidup dengan berkunjung pada akhir pekan, menyediakan waktu dan kesediaan menutup jalan untuk car free day selama beberapa jam di akhir pekan atau turut berpartisipasi mengikuti program tanam pohon di sekitar tempat pembangunan, menjadi langkah untuk paling tidak memberi ruang bagi lingkungan untuk terus hidup dan berkembang sebagaimana mestinya.

Gue sendiri layaknya kebanyakan orang saat ini, cukup sadar untuk  menggunakan plastik saat berbelanja seminim mungkin. Menghemat penggunaan listrik dan air di rumah. Mengingatkan orang rumah untuk paling tidak menggunakan seperlunya.

Tentunya berpartisipasi mengikuti acara-acara yang mendukung pelestarian lingkungan. Sebut saja hingga hari ini gue sudah ikut menanam tiga pohon dari acara-acara yang diadakan di sekitar rumah dan menyempatkan menulis kisah gue di blog hari ini. Walaupun bisa gue bilang, gue bukan penggiat lingkungan atau aktivis yang bersuara keras untuk melestarikannya.

Berbicara mengenai aksi lingkungan, gue dan teman-teman di kampus pernah menggagas kegiatan bertajuk Fun Bike yang diadakan Desember 2011 silam. Saat itu kami mampu mengumpulkan warga sekitar untuk bersama-sama menghabiskan waktu diakhir pekan untuk bersepeda. Tidak sesulit yang dibayangkan, banyak masyarakat saat ini sudah memiliki kesadaran lebih untuk menjaga lingkungannya dengan cara yang menyenangkan.

Sumber Foto : Facebook BEM UMN

Sumber Foto : Aisya Putrianti


Begitu juga dengan ketika gue mengikuti sebuah acara di Bali dan berkesempatan mengelilingi Gianyar Bali dengan menggunakan sepeda. Cara lain menikmati keindahan Bali dengan bersepeda tentu bisa menjadi pilihan selain bersantai di pantai dan keliling kota dengan mobil atau motor sewaan kan?

Sumber Foto : Microsoft Indonesia


Pernah juga suatu kali saat diwajibkan membuat tugas untuk mata kuliah videografi, gue dan teman-teman memilih mengangkat tema tentang kepedulian lingkungan lewat penghematan penggunaan kertas. Tentu ini cara lain bagi gue dan teman-teman untuk bersuara, tidak hanya lewat kata-kata dan tindakan, tapi lewat ajakan visual yang mungkin lebih menarik bagi sebagai orang.

Sumber Foto : Dokumentasi Pribadi


Jadi, setelah melakukan tindakan kecil untuk lingkungan dengan cara menyenangkan versi gue, membuat acara bertema lingkungan dan membuat video bertajuk lingkungan, kali ini medium tulis menulis menjadi pilihan lain bersuara akan lingkungan. Tulisan di blog ini menjadi perwakilan apa yang pantas disuarakan. 

Tapi gue percaya, apa yang gue lakukan, sekecil apapun itu akan memberikan dampak. Tidak ada sumbangsih yang sia-sia. Lantas, mengapa menunggu orang lain tergerak sebelum memberi contohnya terlebih dahulu. Aksi sekecil apapun akan membawa pengaruh yang nyata dari hanya sekadar kata lantang yang menggebu tanpa memberi ruang untuk bertindak.

Dengan catatan, bahwa apa yang dilakukan oleh warga tidak akan mampu berjalan seutuhnya tanpa dukungan dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Kebijakan itu yang nantinya akan memperkuat dan menjadi landasan tindakan yang mampu menjaga lingkungan sekitar.

Melihat apa yang terbentang di masa yang akan datang, pemilu legislatif dan pemilihan umum presiden 2014 sudah semakin di depan mata. Harapan yang baik tentu digantungkan pada pundak calon pemimpin dan pengambil kebijakan bangsa ini.

Sumber Foto : www.elshinta.com


Meski kini organisasi-organisasi salah satunya World Wide Fun for Nature (WWF) telah banyak bertindak dan bersuara, adanya kebijakan dan undang-undang salah satunya Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan kesadaran yang aktif dari warga akan menyelamatkan lingkungan kita yang semakin rusak. Tidak dipungkiri, peran aktif dan kepedulian pemerintah dan wakil rakyat menjadi kunci aman tindakan ini.

Lihat saja bagaimana pemerintah tidak mampu bersikap tegas dengan pembangunan yang ada. Sebut saja daerah rumah gue, Tangerang Selatan yang sedang gencar-gencarnya dibangun. Lingkungan yang tadinya hijau dan rindang perlahan terkikis. Jangan lupa, sehijau, serindang dan seasri apapun suatu lingkungan, jika terus menerus digerus alamnya, lingkungan jelas tidak akan bertahan.

Ini mungkin memang lingkungan yang dibuat untuk perumahan dan bisnis tapi tidak kah ada sedikit kebijakan yang bisa memberi ruang bagi lingkungan untuk tetap tinggal? Mengapa seolah pemerintah tutup mata dan membiarkan ini terus berkelanjutan.

Sumber Foto : www.tempo.co


Mungkin kebijakan yang sudah pernah diambil oleh pemerintahan yang lalu lantas tidak bisa dibatalkan sepihak atau pembangunan yang sudah ada dan berjalan tidak bisa dibinasakan begitu saja. Tapi pasti ada kesempatan untuk menghentikannya sesegera mungkin. Paling tidak, ke depannya tidak ada lagi kebijakan yang berat sebelah. Yang meminorkan lingkungan dan mengagungkan kepentingan bisnis dan uang semata.

Karena pembangunan dan keuntungan dibaliknya tidak akan mencapai batas kepuasan siapapun tapi lingkungan dan keberlanjutannya masih harus diperjuangkan, ia tidak lantas bisa tumbuh begitu saja. Ada ruang yang harus diberi, ada upaya yang harus dilakukan dan ada kesadaran untuk membiarkannya lestari.

Pemerintah mestinya berpihak pada rakyat. Lagipula, ia juga salah satu warga, manusia, makhluk hidup yang butuh udara bersih. Tinggal di lingkungan yang rusak karena keserakahan tidak lantas menyengsarakan kesehatan warga tapi juga dirinya.

Ketika wakil rakyat terpilih lantas lupa kebutuhan dirinya sendiri untuk melindungi lingkungan, akibat termakan buaian keuntungan uang semata, lalu apa yang dapat kita harapkan dari pilihannya bagi kebijakan lain untuk rakyatnya? Bukan kah dia sudah terlebih dahulu gagal menyelamatkan hidupnya, bagaimana lagi dia mampu menyelamatkan rakyatnya.

Harapan itu masih tinggi. Karena bagi gue, tidak ada yang tidak bisa diselamatkan. Menanam pohon sekarang, mengistirahatkan mobil dan mengajak kaki melangkah pagi ini, mengatakan tidak pada plastik belanja siang ini, menghemat air mandi sore ini dan mematikan listrik malam ini, pantas dibiasakan sebagai bentuk lain terima kasih kepada lingkungan yang terus melindungi gue dan tentunya gue butuhkan. Bukan kah saling mengerti dan memahami yang bisa membuat kita terus hidup berdampingan? Gue dan lingkungan pun berusaha berjalan selaras dan bersisian, agar mampu hidup bersama dalam waktu yang lama.

Tulisan ini diikut sertakan dalam Lomba #IngatLingkungan WWF Indonesia dan BlogDetik

Monday, March 10, 2014

Gaya Hidup Sehat -- Gaya Hidup Bahagia

Tulisan ini mungkin saja akan menyindir bagi sebagian pihak, bisa juga diamini oleh pihak lainnya. Jadi ya memang begitu namanya tulisan layaknya bagian dari opini yang tidak selamanya beriring pro maka biarkan saja gue berkisah..

Jadi melihat pada fenomena masyarakat urban saat ini. Gaya hidup sehat menjadi arus besar yang sulit ditentang, menyeret siapa saja ke dalam pusarannya. Gue tidak menyempitkan pandangan gaya hidup sehat ini hanya pada satu atau dua kegiatan saja. Tapi at all, you named it, lari, detox, yoga, dan persekutuannya.

Gue nggak menyalahkan kegiatan kaum urban yang sejujurnya memang bermanfaat baik itu. Tapi sayangnya, saat ini banyak orang kehilangan arahnya, yang pasti gue melihat arus yang massive. Berkoar di sepenjuru sosial media dimana pun gue log in.

Beberapa melakukannya dengan baik dan manis, kalem dan tidak over acting. Sisanya, pamer sana sini tanpa terlihat jelas hasilnya.

Gue yang nggak terlibat, ya agak muak sih. Cuma lebih wise lah mungkin, gue nggak ngelarang siapapun punya gaya hidup apapun. Tapi bukan berarti mencela atau nyinyir sama gaya hidup orang lain yang masuk kategori hidup tidak sehat versi dia kan.

For me, life is simple as, lo seneng dan bahagia ngejalaninnya. Named it, indomie, rokok, junk food, soda, makanan padang, apapun itu selagi buat lo senang dan gak berlebihan ya jalanin lah. Toh hidup cuma sekali, kata anak sekarang, YOLO. Nggak ada yang salah dengan menjadi bahagia apapun caranya (in a good ways).

Kalau kalian si gaya hidup sehat punya jus berisi campuran buah-buahan kenapa kami si gaya hidup bahagia ini nggak boleh punya indomie rebus pake cabe ijo, ya kan? Hidup itu pilihan. Intinya ya saling menghargai. Mengingatkan boleh tapi bukan berarti menggurui.

Siapa sih yang gak mau hidup sehat dan longlast tanpa penyakit? Tapi siapa juga yang bisa mendustai nikmat gorengan? Daripada sekadar mengikuti gaya hidup orang kebanyakan, disiksa dengan membeli peralatan untuk "sehat", dikejar banyak target untuk "ideal", kenapa tidak bersantai, minum kopi, ngemil kue dan sepiring kentang goreng lalu bercerita kepada sahabat bahwa hidup itu indah dengan pilihan yang kita jalani. 

Kamu, dia atau kalian punya pilihan, kita bisa berjalan bersama karena saling menghargai dan mengisi. Bukan karena saling menghardik dan menyinyir. Makhluk sosial nggak capek hidup sendiri karena mau dibilang keren doang? Come on, we only live once dear fellas..