Keinginan untuk menulis
sedang getol dalam diri saya akhir-akhir ini. Mungkin karena tidak
adanya libur walaupun ini musim libur. Percayalah ini hanya curhat
sesaat, toh pada dasarnya sampai detik saya menulis rangkaian kata di
tulisan ini, saya belum merasa tertekan apalagi jemu tiap hari
bertemu meja di kantor yang sama.
Terlepas dari libur dan
kecintaan saya pada pagar hitam baru dicat depan salah satu gedung di
Kebayoran Lama ini, saya ingin menuliskan satu hal yang menggelitik
tangan untuk melontarkan apa yang dipendam raga. (Maaf dengan
paragraf yang terlampau panjang, jangan lupa untuk bernafas saat
membacanya. Itu kebiasaan. Buruk.)
Anggaplah saya penikmat
novel biasa. Menghabiskan banyak hari untuk membaca novel. Menikmati
setiap baris kata di dalamnya yang apik. Lalu, dalam masa transisi
dari bacaan teenlit saat SMP dan SMA (Oh, dan saya bukan penikmat
sastra serius pada masa itu, sekarang pun belum rasanya), saya
menemukan buku berjudul “Supernova : Ksatria, Putri dan Bintang
Jatuh” (KPBJ) di awal masa perkuliahan.
Awalnya, buruk. Sebuah
permulaan yang buruk untuk sebuah novel yang jelas bukan pertama kali
saya baca. Sebagai catatan, saya sudah terlebih dahulu menikmati
novel Dee Lestari lainnya, seperti Filosofi Kopi dan Perahu Kertas.
Ternyata buku yang ini berbeda, sangat.
Saya menghabiskan hampir
sebulan. Rekor terlama untuk sebuah novel yang menarik saya dalam
pusarannya. Bukan berarti saya tidak membacanya setiap hari. Bukan
saya membedakannya dengan novel lainnya yang saya baca, tapi hanya
saja, sulit bagi saya memahami setiap kata dan kalimat yang
disajikan.
Lantas saya menyerah?
Tidak. Ketika itu, saya membaca satu halaman bisa menghabiskan waktu
berjam, karena dibaca lagi dan lagi. Asing rasanya berhadapan
langsung dengan banyak kata yang terjait rapi dalam kalimat obrolan
pemerannya. Saya dan google, berteman akrab saat membaca novel itu.
Waktu berlalu, hingga
saat ini, KPBJ mengambil tempat terbesar dalam ingatan saya sebagai
novel yang pantas dibaca. Novel itu mengajarkan saya bahwa fiksi bisa
sebegini indah dan cerdas. Sejak itu, saya belajar banyak, tidak
ingin menulis sesuatu yang dangkal, walaupun proses itu masih
berlanjut dan bergerak tipis.
Hingga di awal bulan ini,
KPBJ hadir dalam medium berbeda. Filmnya rilis di bioskop. Ekspektasi
tidak saya gantung begitu tinggi. Sesuatu yang cerdas lewat kata
kadang tak menemukan perbandingan yang pas dalam bentuk visual.
Sebaliknya pun begitu, rasanya lumrah.
Tapi layaknya seorang
penggemar, ada kekecewaan yang terselip. Tidak besar memang, namun
terasa mengganggu. Kekosongan itu hadir lewat sosok yang saya
agungkan di dalam novelnya. Mungkin bagi setiap pembaca KPBJ,
menyadari hal ini.
Saya hampa melihat sosok
Diva. Entah imajinasi saya yang terlalu mengagungkannya atau memang
ada yang salah dalam pemilihan tokohnya. Tapi yang jelas, Diva tidak
mampu membawa arah dan dampak yang besar seperti apa yang saya
rasakan lewat bukunya.
Bagi saya yang awam, Diva
harusnya sesosok orang yang fasih berbahasa Indonesia. Dia pencerita
dan pusat utama cerita ini mengalir. Dari awal film saja dia sudah
meluluhlantakkan langit studio bioskop KPBJ saya dengan lafalnya yang
mengganggu. Kalimat indah Dee Lestari tidak tersampaikan dengan
sempurna.
Setelah Diva, saya
mempertanyakan di mana Gio? Sosok yang terus berdampingan dengan Diva
hingga Supernova berikutnya. Sekecil itukah perannya sehingga tidak
pantas mendapat ruang di visual? Atau memang KPBJ yang ini ingin
memosisikan diri sebagai suatu yang tunggal, lantas dengan membuang
Gio, KPBJ resmi berdiri sendiri, terlepas dari kawanannya. Saya
bingung.
Selebihnya, saya rasa
tidak pantas mengulang dialog yang indah di baca dan diresapi namun
kaku diucapkan. Penonton disajikan dengan dialog yang tumpah. Belum
lagi pengulangan adegan. Rasanya ingin bilang cukup.
Novel ratusan halaman
punya lebih banyak bagian untuk digambarkan dari hanya sekadar
mengulang adegan sarat cahaya berdansa disamping piano kan. Belum
lagi, perkenalan Diva dan Ferre yang terkesan terburu-buru.
Ah, mungkin memang saya
ditakdirkan untuk membaca, menikmati kata yang menjadi nyala dalam
imajinasi. Daripada menjadi penerima bayangan lewat visual yang
seketika menggelontorkan imajinasi yang sudah terlampau lama
terpendam.
Paling tidak, film ini
mencoba. Tidak ada yang salah dengan mencoba kan. Tidak berhasil bagi
saya bukan berarti lantas film ini tidak berhasil bagi yang lainnya.
Toh pada akhirnya saya menonton khidmat hingga film usia.
Mungkin ada benarnya, apa
yang sudah kamu baca biarlah dilumat habis oleh imajinasi liar,
sedangkan apa yang sudah kamu lihat biarlah tersaji tanpa perlu
disentuh personal. Layaknya seseorang dengan alter egonya, mereka berbeda dan tak pantas disandingkan.