" Three words I can sum up everything I've learned about life: it goes on. " Robert Frost

Tuesday, December 30, 2014

Alter Ego Sang Supernova KPBJ

Keinginan untuk menulis sedang getol dalam diri saya akhir-akhir ini. Mungkin karena tidak adanya libur walaupun ini musim libur. Percayalah ini hanya curhat sesaat, toh pada dasarnya sampai detik saya menulis rangkaian kata di tulisan ini, saya belum merasa tertekan apalagi jemu tiap hari bertemu meja di kantor yang sama.

Terlepas dari libur dan kecintaan saya pada pagar hitam baru dicat depan salah satu gedung di Kebayoran Lama ini, saya ingin menuliskan satu hal yang menggelitik tangan untuk melontarkan apa yang dipendam raga. (Maaf dengan paragraf yang terlampau panjang, jangan lupa untuk bernafas saat membacanya. Itu kebiasaan. Buruk.)

Anggaplah saya penikmat novel biasa. Menghabiskan banyak hari untuk membaca novel. Menikmati setiap baris kata di dalamnya yang apik. Lalu, dalam masa transisi dari bacaan teenlit saat SMP dan SMA (Oh, dan saya bukan penikmat sastra serius pada masa itu, sekarang pun belum rasanya), saya menemukan buku berjudul “Supernova : Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh” (KPBJ) di awal masa perkuliahan.

Awalnya, buruk. Sebuah permulaan yang buruk untuk sebuah novel yang jelas bukan pertama kali saya baca. Sebagai catatan, saya sudah terlebih dahulu menikmati novel Dee Lestari lainnya, seperti Filosofi Kopi dan Perahu Kertas. Ternyata buku yang ini berbeda, sangat.

Saya menghabiskan hampir sebulan. Rekor terlama untuk sebuah novel yang menarik saya dalam pusarannya. Bukan berarti saya tidak membacanya setiap hari. Bukan saya membedakannya dengan novel lainnya yang saya baca, tapi hanya saja, sulit bagi saya memahami setiap kata dan kalimat yang disajikan.

Lantas saya menyerah? Tidak. Ketika itu, saya membaca satu halaman bisa menghabiskan waktu berjam, karena dibaca lagi dan lagi. Asing rasanya berhadapan langsung dengan banyak kata yang terjait rapi dalam kalimat obrolan pemerannya. Saya dan google, berteman akrab saat membaca novel itu.

Waktu berlalu, hingga saat ini, KPBJ mengambil tempat terbesar dalam ingatan saya sebagai novel yang pantas dibaca. Novel itu mengajarkan saya bahwa fiksi bisa sebegini indah dan cerdas. Sejak itu, saya belajar banyak, tidak ingin menulis sesuatu yang dangkal, walaupun proses itu masih berlanjut dan bergerak tipis.

Hingga di awal bulan ini, KPBJ hadir dalam medium berbeda. Filmnya rilis di bioskop. Ekspektasi tidak saya gantung begitu tinggi. Sesuatu yang cerdas lewat kata kadang tak menemukan perbandingan yang pas dalam bentuk visual. Sebaliknya pun begitu, rasanya lumrah.

Tapi layaknya seorang penggemar, ada kekecewaan yang terselip. Tidak besar memang, namun terasa mengganggu. Kekosongan itu hadir lewat sosok yang saya agungkan di dalam novelnya. Mungkin bagi setiap pembaca KPBJ, menyadari hal ini.

Saya hampa melihat sosok Diva. Entah imajinasi saya yang terlalu mengagungkannya atau memang ada yang salah dalam pemilihan tokohnya. Tapi yang jelas, Diva tidak mampu membawa arah dan dampak yang besar seperti apa yang saya rasakan lewat bukunya.

Bagi saya yang awam, Diva harusnya sesosok orang yang fasih berbahasa Indonesia. Dia pencerita dan pusat utama cerita ini mengalir. Dari awal film saja dia sudah meluluhlantakkan langit studio bioskop KPBJ saya dengan lafalnya yang mengganggu. Kalimat indah Dee Lestari tidak tersampaikan dengan sempurna.

Setelah Diva, saya mempertanyakan di mana Gio? Sosok yang terus berdampingan dengan Diva hingga Supernova berikutnya. Sekecil itukah perannya sehingga tidak pantas mendapat ruang di visual? Atau memang KPBJ yang ini ingin memosisikan diri sebagai suatu yang tunggal, lantas dengan membuang Gio, KPBJ resmi berdiri sendiri, terlepas dari kawanannya. Saya bingung.

Selebihnya, saya rasa tidak pantas mengulang dialog yang indah di baca dan diresapi namun kaku diucapkan. Penonton disajikan dengan dialog yang tumpah. Belum lagi pengulangan adegan. Rasanya ingin bilang cukup.

Novel ratusan halaman punya lebih banyak bagian untuk digambarkan dari hanya sekadar mengulang adegan sarat cahaya berdansa disamping piano kan. Belum lagi, perkenalan Diva dan Ferre yang terkesan terburu-buru.

Ah, mungkin memang saya ditakdirkan untuk membaca, menikmati kata yang menjadi nyala dalam imajinasi. Daripada menjadi penerima bayangan lewat visual yang seketika menggelontorkan imajinasi yang sudah terlampau lama terpendam.

Paling tidak, film ini mencoba. Tidak ada yang salah dengan mencoba kan. Tidak berhasil bagi saya bukan berarti lantas film ini tidak berhasil bagi yang lainnya. Toh pada akhirnya saya menonton khidmat hingga film usia.


Mungkin ada benarnya, apa yang sudah kamu baca biarlah dilumat habis oleh imajinasi liar, sedangkan apa yang sudah kamu lihat biarlah tersaji tanpa perlu disentuh personal. Layaknya seseorang dengan alter egonya, mereka berbeda dan tak pantas disandingkan.

Monday, December 29, 2014

Ketidakpastian Menggelayut di Balik Hilangnya Pesawat Minggu Pagi

Saya atau kalian atau mereka, kita ada di posisi yang sama. Menggantungkan asa dan bertanya dalam satu kesempatan yang sama. Ketidakpastian membuat segalanya runyam, setinggi apapun asa yang digantungkan, redam oleh kegelisahan yang menggelayut.

Mungkin posisinya sama dengan nilai tukar EUR terhadap mata uang negara dunia lainnya saat ini. Ada asa yang digantung agar Samaras, Perdana Menteri Yunani, menang voting dan Yunani terhindar dari regenerasi bail out yang dibawa Partai Kiri Yunani, Syriza. Serta kemungkinan percepatan pemilu nasional Yunani di awal tahun depan. Pasar tidak menyukai arah kebijakan Syriza, efeknya EUR terkapar.

Begitupun dengan hilangnya pesawat Air Asia QZ8501, Minggu (28/12) pagi 07.55 lalu. Tidak ada keluarga bahkan seorang pun yang berhati nurani menyukai kenyataan pesawat tersebut hilang. Dalam setiap kasus hilangnya pesawat, banyak misteri yang ikut terbawa. Ada ketidakpastian yang entah kepada siapa harus ditujukan. Sentimen negatif ketidakpastian, menggerus harapan yang tersisa, pelan-pelan.

Meski kedua posisi di atas jelas berbeda rasa simpatik dan dampaknya, intinya satu, ketidakpastian menggelontorkan asa. Memperburuk keadaan dengan asumsi yang tidak berbatas. Karena tidak seorang pun pantas menjawab, tidak ada seorang pun yang tahu kebenarannya. Jawaban itu seolah hilang bersama 155 penumpang dan 7 orang awak pesawat yang terkenang.

Ketidakpastian menghampiri lewat dugaan dan asumsi. Lewat 2 menit yang terasa sesaat, 162 orang tidak diketahui keberadaannya, seolah awan menyimpan mereka rapat, memberikan ketenangan yang tidak mampu didengar bumi yang kepalang riuh.

2 menit, mungkin setara dengan perjalanan kaki saya setiap pagi, Stasiun Palmerah – Pasar Palmerah. Perjalanan singkat, terlampau singkat bahkan mungkin untuk logika menerima, pesawat Airbus A320-200 itu hilang tanpa sempat menitipkan pesan.

Direktur Safety dan Standard AirNav Indonesia Wisnu Darjono mengungkapkan, pada pukul 06.12, ATC Bandara Soekarno-Hatta berkomunikasi dengan pilot AirAsia QZ8501. Dia meminta untuk bergeser ke kiri untuk menghindari cuaca buruk. Izin itu diberikan dan akhirnya pesawat bergeser 7 mil dari posisi awal. Namun, kata Wisnu, pilot kembali meminta mengubah posisinya ke ketinggian 38.000 kaki.Saat kami sampaikan jawaban agar naik ke 34.000 kaki, sudah tidak ada lagi jawaban sekitar pukul 06.14” - Sumber : kompas.com, judul “Dua Menit Penuh Tanda Tanya dari AirAsiaQZ8501.

Dari sekian banyak alasan yang mungkin berizin menyusup masuk ke relung hati hanya jawaban permainan cuaca yang diluar kendali. Berikut saya sertakan ragam dugaan dari pakar penerbangan soal spekulasi cuaca yang mungkin hadir, menyinggahi pesawat Air Asia Surabaya-Singapura ini :

Para pilot berkeyakinan kru (QZ8501) dalam upaya menambah ketinggian untuk menghindari badai, entah bagaimana menyadari mereka terbang terlalu lambat," ujar dia. Dengan kecepatan itu, mereka tertarik ke aerodynamic stall, seperti yang terjadi dalam hilangnya Air France AF44 pada 2009," lanjut Thomas, seperti dikutip dari AAP. Prinsip situasinya, papar Thomas, pesawat terbang dengan kecepatan terlalu lambat di ketinggiannya saat itu, ketika udara terlalu tipis, sehingga sayap tidak mampu lagi menopangnya. Dan pesawat stall. Aerodynamic stall." - Sumber : nationalgeographic.co.id dengan judul : PakarPenerbangan: Insiden QZ8501 Mungkin Sama dengan Air France AF447

Analisis cuaca yang dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menguatkan dugaan pesawat AirAsia QZ8501 gagal menghindari awan tebal kumulonimbus yang berada pada rute penerbangannya. Kepala Lapan, Thomas Djamaluddin, mengungkapkan bahwa adanya dinamika cuaca yang sangat aktif, adanya awan kumulonimbus, dan terdapatnya pesawat di ketinggian lebih tinggi menyulitkan QZ8501. Awan kumulonimbus terbentuk karena adanya penguapan air laut yang hangat dengan cepat. Awan ini memang tebal, bisa mencapai ribuan kilometer dan memang sulit dihindari dengan tiba-tiba. Kemungkinan pesawat mengalami turbulensi hebat karena tidak bisa menghindar dari awan kumulonimbus yang menjulang tinggi. Pesawat tidak mampu menghindar walaupun dengan naik ke atas. Belok ke kanan atau ke kiri juga sulit, akhirnya harus masuk," ungkap Thomas. - Sumber: nationalgeographic.co.id dengan judul Analisis Lapan Perkuat DugaanQZ8501 Gagal Hindari Awan Kumolonimbus.

Ketiadaan kode darurat pilot, menurut Yayan, sangat mendukung dugaan pesawat terjebak dalam kungkungan awan CB. "Itu awan, tapi berat karena ada butiran es. Bisa merusak instrumen pesawat, dari komunikasi sampai strukturnya," ujar dia. "Kalau sudah begitu, selain alat rusak, kemungkinan pilot sudah sangat panik bahkan untuk sekadar bilang 'Mayday'," tutur dia. Ketiadaan panggilan dan sinyal darurat dari pesawat, menurut Yayan, menunjukkan pesawat pada situasi yang sangat berat, dengan kejadian teramat cepat yang merusak peralatan komunikasi dan kemungkinan pesawat itu sendiri. - Sumber : nationalgeographic.co.id dengan judul : Analisis Awal :Apakah QZ8501 Terlambat Naikkan Ketinggian?

Mari untuk sementara, nyatakan kesepahaman dan persetujuan dengan dugaan yang dilontarkan oleh mereka, para pakar penerbangan. Walau hati tak selamanya bisa menerima alasan, sekalipun logika mengangguk tanda setuju, tapi daripada membuka tabir batas ketidakpastian lebih lebar, biarkan cuaca menjadi kambing hitam untuk saat ini.

Dugaan lain, padatnya lalu lintas di udara saat ini mengganggu peluang pesawat milik Air Asia ini untuk bertahan.

Yayan menyebutkan, ada setidaknya empat pesawat lain yang berdekatan dengan QZ8501 pada saat itu, yakni Garuda Indonesia berkode penerbangan GIA602, pesawat Lion Air berkode LNI763, AirAsia berkode penerbangan QZ502, dan Emirates berkode penerbangan UAE409. Dari data yang Yayan dapatkan, ketinggian GIA602 adalah 35.000 kaki, LNI763 38.000 kaki, QZ502 38.000 kaki, dan UAE409 35.000 kaki. "Kontak terakhir disebut QZ8501 minta menambah ketinggian 6.000 feet dari 32.000 feet. Kemungkinan pilot langsung menaikkan ketinggian, tidak memutar dulu misalnya, tetapi tidak terkejar untuk menghindari awan CB. - Sumber : nationalgeographic.co.id dengan judul : Analisis Awal : ApakahQZ8501 Terlambat Naikkan Ketinggian?

Jika memang salah satunya itu, pantas kah dipikirkan kembali kenyataan bahwa jalur udara Indonesia saat ini sudah terlalu sarat pengendara? Jadi, kepadatan tidak hanya terjadi di depan mata lewat penuhnya antrian take off dan landing pesawat di bandar udara Soekarno Hatta, tapi juga lalu lintas di udara?

Jika antrian itu mengular di sini, ditambah dengan kenyataan bahwa Air Asia QZ8501 harus berbagi lintas udara dengan 4 pesawat lainnya dijalur yang sama, sudah seharusnya perbedaan jam terbang dan mendarat menjadi pertimbangan yang matang.

Walau saya tidak memahami mekanisme dan pertimbangan yang diambil, pikiran itu menggelayut saat membaca berita di atas. Jika di jalan tol kemacetan bisa dihadapi dengan kontrol yang sederhana dan langsung antara mobil dan pengendaranya, keadaan di udara jelas berbeda.

Sang pilot dan kru bukanlah pengambil keputusan mutlak, ada pertimbangan dan persetujuan dari Air Traffic Control (ATC). Proses pengiriman informasi jarak jauh yang rentan terhadap pergesekan riskan. Sementara nyawa dan keselamatan bergantung bersama awan-awan yang berarak.

Pernah membayangkan, kalau udara macet seperti jalan tol? Tidak hanya izin bergerak yang terbatas, tapi arus komunikasi akan padat dan sarat izin, belum lagi persoalan bahan bakar. Jika mobil bisa bergegas ke SPBU terdekat, pesawat harus berhenti mengisi avtur di perhentian selanjutnya.

Terlepas dari skema cerita soal padatnya lalu lintas udara yang saya cipta. Tidak semua lantas menyisipkan dugaan negatif. Masih ada asa yang senantiasa menggantung, pantas juga tangan ini berpegang erat pada sisinya,

Mantan Dirut PT Merpati Nusantara Airlines ini juga mengherankan matinya alat pemancar yaitu locator beacon. Meski demikian, jelasnya, kabar ditemukannya pesawat dengan rute Surabaya-Singapura tersebut tetap harus ditunggu. "Siapa tahu mendarat darurat di daerah yang remote. Kita mesti jaga terus harapan tersebut," jelasnya. - Sumber : nationalgeographic.co.id dengan judul, Capt.Jhony : Air Asia QZ8501 Kemungkinan Mengalami Kecelakaan Fatal

Walau memang kita hanya mampu berpegangan pada seutas tali yang tipis dan rapuh. Tak pantas rasanya melepas pegangan itu kala ketidakpastian masih mengambil peran. Sekecil apapun itu, ada dia yang Maha dan melebihi segala sesuatunya di dunia ini.

Memanjatkan doa, senantiasa berikhtiar, sejumput keikhlasan akan membuka jalan. Mungkin pesawat, awan dan cuacanya sedang menyimpan sesuatu, entah kita yang belum saatnya tahu atau memang mereka sedang ingin diikhlaskan. Al-Fatihah.






Friday, December 5, 2014

Karena Ketika Itu Kalau Saja

Karena saya nggak bisa terus-terusan jadi orang yang menghalangi kamu melangkah ke sana. Karena saya juga tidak punya kemampuan untuk menghapus masa lalu kamu. Karena saya juga tidak pernah minta datang setelah dia.

Ketika saya punya hak lebih, maka jangan pernah bertanya jika memang kamu sudah mengerti. Ketika saya mendengar pertanyaan itu maka saya semakin yakin bahwa kamu memang menginginkannya. Ketika itu saya tau saya hanya orang lain yang datang setelah dia.

Kalau saja ada ruang untuk memilih apa yang akan dijalani hari ini dan esok dan esoknya lagi, saya akan menghapus semua hari yang berkaitan dengan masa lalu. Kalau saja ada hari tanpa masa lalu. Kalau saja saya datang lebih dulu dari dia.


Karena saya tidak ingin terus berkelana jauh mencoba meninggalkan satu titik yang masih kosong. Karena suatu saat kamu dan saya akan berputar kembali ke sana dan tersandung karena lubang itu. Karena saya ada di sana dan bukan dia.

Ketika itu saya tidak ingin meninggalkan kamu dalam lubang itu. Ketika itu saya ingin kita kembali melangkah bersama dan bukannya meninggalkan satu atau yang lainnya dalam keterpurukan. Ketika itu saya sudah di sana bersama kamu sejak lama bukan dia.

Kalau saja ruang itu masih cukup lega, biarkan saja saya mengisinya sampai sesak. Kalau saja kita sudah berhasil melangkah bersama sejauh ini dan cukup, biarkan saja saya terus beriringan bersama kamu. Kalau saja saya yang akan selalu ada di sana dan bukan dia.  

-NDN