" Three words I can sum up everything I've learned about life: it goes on. " Robert Frost

Wednesday, April 29, 2015

Sebuah Perjalan Menjadi Penari

SELAMAT HARI TARI DUNIA, wahai para penari di seluruh pelosok bumi.
Layaknya sebuah perayaan lainnya yang pernah terlalui, saya ingin sedikit berkisah tentang keseharian saya yang kerap beririsan dengan dunia tari. 

Sejak mengenyam pendidikan di taman kanak-kanak saya aktif berpartisipasi dalam kegiatan menari. Dulunya hanya iseng, sembari mengisi waktu anak-anak saya. Jelas tarian yang dibawakan pun hanya tari-tari sederhana untuk memeriahkan panggung hiburan sekolah.

Beranjak pada masa sekolah dasar saya masih mengikuti ekstrakulikuler menari. Saya ingat persis tarian itu bernama Tari Piring yang dibawakan dengan piring kertas dalam balutan gerakan yang sederhana. Oh selain itu saya juga pernah membawakan Tari Lilin dan Tari Dindin Badindin. Sebagian besar masa kecil saya memang dihabiskan di Medan, Sumatera Utara jadi tidak usah heran list tarian yang mengisi hari-hari saya adalah tarian-tarian Sumatera.

Selepas itu, saya memasuki masa di mana modern dance sedang hits. Saya pun beralih, mengikuti beberapa teman untuk mencoba-coba membuat gerakan dan menampilkan modern dance tersebut dalam sebuah pentas seni siswa SMP. 

Nyatanya, hati ini enggan berpihak. Ada perasaan yang hilang. Sederhananya, saya tidak merasa menjadi diri sendiri dengan menarikan gerakan modern tersebut. Musiknya yang melantun tidak membuat saya tergerak untuk menari.

Masuk SMA, saya aktif di ekskul tari Jawa. Selain itu kesempatan besar datang ketika saya kelas dua. Sekolah memutuskan berpartisipasi dalam acara penurunan bendera Merah Putih pada Hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 2008 lampau. Ternyata partisipasi pada kegiatan itu membuka jalan saya untuk menari tari tradisional lagi.



Selepas dari acara itu, saya diajak bergabung pada sebuah sanggar tari besutan mantan penari Swara Mahardika yang tersohor. Saya pun bergabung dengan Swara Mahardika Muda. Lewat latihan yang rutin saya berangkat mengikuti misi budaya ke Prancis dan Swiss pada 2010. 



Langkah kaki tidak berhenti di sana, tiga orang teman saya membentuk Kultura Indonesia Star Society pada 2012. Saya pun memutuskan untuk bergabung. Hasilnya latihan rutin membuahkan kesempatan misi budaya ke Turki pada tahun 2013.

Hingga beberapa bulan yang lalu saya masih aktif menari. Tentunya tari tradisional Indonesia. Belasan tarian pernah saya tarikan, mulai dari Sumatera hingga Papua. Perasaan cinta itu semakin besar, kebanggan itu masih menggunung.

Tidak ada alasan untuk berhenti sebenarnya, hanya saja waktu masih memilih untuk menenggelamkan saya dengan kegiatan lain. Bukan suatu halangan, dalam perjalanannya saya sudah melalui perjalanan timbul tenggelam ini sebelumnya.

Sebut saja itu proses. Bagian menjadi seorang penari yang punya kewajiban. Saya masih dan akan dengan bangga menyebut diri saya penari. Entah kini atau nanti. Tidak ada yang berubah. Semangat dan kecintaan itu masih mengalir sama derasnya. 

Salah satu pelajaran yang paling kuat menempel dalam ingatan saya adalah "Seorang penari tahu betul akan keselarasan. Dia belajar menyesuaikan diri dengan musik dan sekitarnya. Menjadi seorang penari selalu mampu menanggalkan keegoisannya. Karena ia harus selalu selaras dalam Wiraga, Wirasa dan Wirama," 

Pelajaran itu menempel kuat. Membuat saya enggan dibenam waktu. Meski sedang pasif menari, saya aktif menulis tentang tarian dan kegiatan tari yang dilaksanakan oleh sanggar - sanggar tari di sekitar Jakarta.

Saya menggagas berdirinya Ketik Tari. Dalam perjalanannya saya mengajak serta empat orang terpercaya (Emir, Erika, Ninda dan Caya) untuk mengembangkan Ketik Tari hingga sampai di titik ini. Harapannya, Ketik Tari mampu menjadi medium bagi sanggar-sanggar tari dan tari tradisional untuk mendapatkan tempat di masyarakat. Tentunya ini sebagai bentuk apresiasi kami terhadap seni tari tradisional Indonesia.

Oh, tidak lupa, sebelum memutuskan mendirikan Ketik Tari, saya pernah menulis novel tentang tari. Novel fiksi ini menyelipkan filosofi-filosofi tarian tradisional Indonesia dalam ceritanya. Dengan judul "Dalam Liku RASA Ku Temukan Gerak Indah Kehidupan", novel ini diterbitkan oleh PT Gramedia Widiasarana Indonesia (GRASINDO) pada 20 Oktober 2013 silam.

Perjalanan saya masih panjang, lenggang ini masih akan terus mengayuh. Melempar selendang sebagai jala pada setiap peluang yang terlalui. Masih banyak ilmu tari yang akan saya gapai. Ragam cara bisa dilakukan untuk mengapresiasi budaya tradisional Indonesia khusunya tarian. Maka saya masih jauh dari kata berhenti.

Teruntuk Penari-Penari di luar sana,
Berbanggalah atas kesempatan menjadi seorang penari. Kesempatan itu tidak datang dengan mudah, tapi lewat peluh yang menetes dan semangat yang membara. Terus lah menyebar cinta lewat tarian. Dalam lenggang gerak dan alunan musik yang mengalun itulah sebuah budaya tersebar dari generasi ke generasi. Lewat semangat dan tekad kita lah, sebuah budaya mendapat ruangnya di masyarakat. 

Sekali lagi, Selamat Hari Tari Dunia. Happy World Dance Day, Dancers!! :)

1 comment:

  1. Kak.. aku sangat suka sekali menari sama seperti halnya kakak dari waktu kecil, aku ingin sekali bergabung dngn grup tari yng ada di medan ini.. ini rasanya aku melestarikan dan terus membawakan tari-tarian tradisional Indonesia ke negeri Asing.. mohon infonya dong kak bagaimana cara bergabung dengan grup-grup tari yang ada di medan ini? Terimah kasih:)

    ReplyDelete