" Three words I can sum up everything I've learned about life: it goes on. " Robert Frost

Thursday, December 8, 2011

Kenapa? *BIG QUESTION MARK*

Pertanyaan ini yang sering muncul di pikiran sempit gue akhir-akhir ini. Entah kenapa atau gimana yang pasti selalu merasuki pikiran gue.

"Kalau memang setiap pertemuan akan berakhir dengan perpisahan, kenapa harus ada pertemuan?"

Pertemuan yang jelas punya maksud lebih spesifik dari sekedar berkenalan biasa dengan orang baru yang kemudian say bye, terus udahan. Pertemuan yang gue maksud jelas ke pertemuan yang lebih dalam, misalnya ke orang yang akhirnya jadi sahabat dekat sampe ke pacar atau dia malah orang yang all in lengkap jadi satu. Pertemuan yang kemudian jadi hubungan yang erat kaya gitu aja tetep berujung kan. Nah dari yang kaya gitu makanya pertanyaan itu sering dan bahkan hampir selalu ada pikiran gue.

Lalu kemudian akan muncul pertanyaan dari orang lain ketika baca itu. Kenapa harus mempertanyakan itu? Pasti dia abis ngerasain perpisahan itu? Jawaban dari gue iya gue mempertanyakan itu karena gue memang sedang merasakannya. Sesuatu akan muncul ketika itu memang sedang dekat dengan kita kan?

Mungkin bagi sebagian orang yang baca ini tau itu 'perpisahan' dengan siapa, bagi yang ga tau, silahkan menebak apa itu. Intinya gue sedang merasakan perpisahan yang sakit. Bukan yang pertama, karena gue orang yang cukup sering terpisah atau berpisah. Bukan hanya dalam konteks pacar tapi ya ga dipungkiri kalau dalam konteks itu pun pernah.

Anw, buat gue hal itu mengganjal, entah kenapa. Gue orang yang senang keep in touch sama orang yang uda gue kenal, entah baru kenal atau sudah sangat lama kenal. Kalau semua masih bisa diusahakan kenapa harus berakhir, ya kan? Tapi lagi lagi dari yang gue tau, itu namanya hidup kan, gak mungkin berjalan flat tanpa rasa. Ada saat dimana kita diatas/senang ada saat giliran kita yang dibawah/sedih. Cuma ya kenapa beberapa orang yang sudah dipertemukan dengan kita itu, yang kadang memberi warna tersendiri, yang ketika dipisahkan dari kita akan menorehkan bekas yang cukup dalam sampe akhirnya untuk menghilangkan sakitnya aja itu gak gampang. Kalau memang semua yang dipertemukan itu harus dipisahkan, kenapa dalam setiap pertemuan harus ada yang membekas?

Ini berujung sama perasaan gue yang entah kenapa akhir-akhir ini berubah menjadi kaku. Dimana semua yang gue jalanin cuma sekedar gue lakuin tanpa mau gue buat perasaan gue terlibat terlalu dalam. Gue lebih memilih jalan sendiri daripada bergantung sama orang lain (istilah puitisnya menitipkan sebagian perasaan gue di dia) terus terlibat dalam, kemudian tinggal nunggu dipisahkan. Sakit kan ya? Lama-lama capek juga. Jadi gue memilih untuk "ya udah deh, jalanin ini se flat yang gue bisa aja, gak perlu naro perasaan di setiap tempat yang gue singgahi, biar perasaan gue terus terjaga"

Tapi mau sampe kapan gini? gue kan manusia bukan robot. Selalu ada perasaan yang timbul pastinya. Nah itu yang buat kenapa gue sekarang jadi sedikit defensif sama perasaan gue. Misalnya, di satu saat perasaan entah apapun itu muncul, gue milih buat langsung berhentiin itu, mengontrol setiap emosi yang bisa muncul, gue tahan banget. Karena perasaan itu baru juga, langsung deh pelan-pelan hilang. Nah akibatnya, sekarang gue merasakan kedataran yang amat sangat, gak ada kesenangan yang amat sangat, gak ada kesedihan yang terlalu menyakitkan.

Entah berapa lama ini akan berlangsung, tapi paling gak buat saat ini, ini yang ternyaman, terbaik, yang bisa gue rasain dan gue jalanin.

Gak semua hal harus pake perasaan juga kan?
Atau ketika ini mengganggu sebenarnya itu perasaan yang sedang bermain?

No comments:

Post a Comment